Sikap Media Menghadapi Hoax, Tingkat Kepercayaan dan Jeratan Hukum
- Bagaimana media massa bekerja di masa kini? Hakikatnya tak berubah. Tetap berfungsi sebagai watch dog bagi pemerintah, memberi pencerahan, pendidikan dan hiburan bagi pembaca serta sebagai alat kontrol sosial.
- Meskipun, wadah dan cara menyampaikannya terus berubah mengikuti pergerakan zaman. Kini media pun memasuki era industri 4.0 yang semuanya serba digitalisasi
Laporan Anita Anggriany Amier (Pemimpin Redaksi Palu Ekspres
Tugas media pers kian ke sini kian berat. Apalagi di masa kini dimana masyarakat dengan bebas mengakses dan melepas informasi menembus ruang-ruang publik melalui internet berbekal gadget. Terkadang adalah berita bohong atau hoax. Lalu media pun sering bertugas meluruskan mencari pembenaran atas beredarnya isu-isu tanpa konfirmasi tersebut. Walau ada juga yang memiliki kebenarannya.
Sementara itu, kondisi perusahaan media massa tak pernah selesai dengan persoalannya yang hampir selalu sama dari tahun ke tahun. Masalah kesejahteraan wartawan dan persoalan profesionalisme sang jurnalis.
Di luar sana, masalah penguasa yang alergi terhadap kebebasan pers atau antikritik, banyaknya aturan yang represif yang dibuat negara, ditambah dengan minimnya pemahaman masyarakat dan penegakkan hukum mengenai peran dan fungsi kebebasan pers dan berekspresi, masih menjadi momok bagi dunia pers saat ini. Berbagai masalah ini menjadi pembahasan dalam Workshop Press Law Enforcement and Human Right Protection for Journalists in the Digital Era yang diselenggarakan LPDS bekerjasama Kedutaan Besar Inggris dengan Kedutaan Besar Belanda yang bertempat di Kedutaan Belanda, 11-12 Desember 2019.
Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo, Hendrayana S.H, M.H, mengatakan, masalah kriminalisasi terhadap wartawan bukan hal baru. Kini versi barunya, muncul oknum pengacara hitam yang “menumpang” tenar dengan mencari-cari kesalahan media massa untuk digugat, untuk sekadar mengibarkan namanya di publik.
“Mereka tak segan-segan membawa masalah ini dijalur hukum, meskipun ada mekanisme hak jawab atau melaporkan ke Dewan Pers,” tandas Hendrayana kepada peserta, para jurnalis dari beberapa provinsi di Indonesia.
Meskipun negara ini memiliki undang-undang No.40 tahun 1999 yang mengatur tentang pers, namun selalu ada ancaman terhadap profesi ini.
Dr Allison Leung dari Thomson and Reuters Fondation mengatakan pekerjaan jurnalis termasuk salah satu dari pekerjaan yang paling berbahaya di dunia. Menurutnya, sepanjang tahun 2010-2019, sudah 550 jurnalis yang terbunuh di dunia. Tahun 2018 ada 250 jurnalis yang masuk penjara yang jumlahnya lebih tinggi pada tahun 2017 sebanyak 271.