Love from China Volunteer, Pelajaran Kemanusiaan dari Tiongkok

  • Whatsapp
BD22B486-8314-453D-B65D-2BDBA32006C2

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Frasa ini akrab bagi sebagian besar orang Indonesia. 

Begitu kalimat awal yang ditulis sahabat saya dari Tiongkok melalui pesan Whatsapp. Dia mengabari telah mengirimkan uang sebesar Rp20 juta kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 30 Maret 2020 lalu.

Bacaan Lainnya

Nama sahabat saya itu; Pippa Li. Dia relawan kemanusiaan. Bergerak sendiri. Dia seperti Lone Ranger. Sebentar-sebentar dia ada di Malaysia, Myanmar. Ia bahkan pernah bekerja di Palu, Sulawesi Tengah saat gempabumi, tsunami dan likuifaksi meluluhlantakan kota itu.

Kata Li uang yang tak seberapa itu diniatkannya untuk membantu PBNU melawan pandemi virus korona baru atau Covid-19. Ia tahu belaka bahwa NU adalah organisasi masyarakat dengan banyak pengikut. Saat berjalan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu, ia juga menyambangi para sesepuh NU di sana. 

Selain mengirimkan sumbangan, ia juga menulis sebuah surat kepada PBNU. Adalah Rais Am,  K.H. Syarifudin Abdul Ghani yang menjadi tujuan surat itu. 

Surat itu seperti menyitir pepatah tua Tiongkok: Membalas kebaikan dengan kebaikan yang berkali lipat.

Li menulis bahwa saat Tiongkok mengalami musibah mewabahnya Covid-19, Pemerintah dan masyarakat Indonesia turut memberikan bantuan dan dukungan kepada negara mereka melewati keadaan itu.

Setelah pecahnya wabah Covid -19 di Tiongkok, Pemerintah Indonesia, asosiasi dan para relawan telah mengulurkan tangan mereka untuk membantu Tiongkok mengatasi kesulitan. 

Awalnya, Li dihubungi Handoko, seorang penulis lepas keturunan Tiongkok di Indonesia. Ia mengatakan bahwa pandemi Covid-19 juga telah mendatangi Indonesia. Maka ada baiknya, Li menghubungi sejumlah asosiasi maupun relawan yang dulu membantunya mendatangkan bantuan kepada korban gempabumi dan tsunami di Sirenja, Pantai Barat Donggala. 

Akhirnya, gayung pun bersambut. Li akhirnya dapat mengirimkan bantuan meski cuma berupa uang ke PBNU yang dianggapnya mewakili masyarakat Indonesia. 

Soal kebiasaannya ‘memotong kompas’ ini, kata Li pada saya di Palu dua bulan pasca bencana di paruh November 2018; Itu agar bantuannya bisa langsung sampai. 

Begitu pula saat ia menginisiasi membawa langsung bantuan pangan, tenda darurat dan membangun sekolah tenda Mohammad Cheng Ho di Sirenja, Donggala.

“Ketika saya melihat penderitaan, saya akan berusaha membantunya, bahkan jika saya hanya melakukan satu hal kecil,” kata Li.

Dia bilang,  “Semua orang di dunia dapat membantu orang lain dengan memulai dari hal-hal kecil. Bila semuanya bergerak bersama, maka dampaknya akan menjadi besar.”

Li menamai gerakan sosialnya sebagai Love from China Volunteer. Ia tak sendiri. Ia dibantu Liang Fangfang, seorang pengusaha Tiongkok yang menjual peralatan komputer di Jakarta. Ada pula Lusianna Xie, seorang Tionghoa lokal Indonesia dan juga Handoko, penulis lepas keturunan Tiongkok. 

Li dan kawan-kawannya melihat Dunia yang luas ini sebagai sebuah ‘Pulau’ di mana orang tinggal bersama. Lalu saat datang wabah itu, semua orang harus bersatu, saling mendukung dan membantu untuk melawannya. Itu agar semua orang dapat kembali hidup di pulau itu dengan nyaman dan aman. ***

Pos terkait