Bijaksana dalam Hidup

  • Whatsapp
Basrin Ombo. Foto: Dok

Oleh Basrin Ombo (Kepala KUA Kecamatan Lage Kabupaten Poso)

Seorang bapak mengajak anaknya pergi ke pasar yang jauh dari rumah mereka untuk menjual kuda mereka sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berangkatlah keduanya pagi-pagi sekali dengan berjalan kaki. Sedangkan kuda mereka tuntun. Di tengah perjalanan bertemu seseorang. “Mau ke mana pak”, tanya orang pertama yang mereka temui. “Mau ke pasar, saya mau menjual kuda ini ke pasar. Cuma kuda ini satu-satunya harta yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Yah, terpaksa ini kami lakukan karena belum ada cara yang lain,” kata sang bapak menjawab. “Kok kudanya dituntun. Agar tidak capek, kan kudanya bisa dinaiki. Kasihan kan anak bapak, berjalan kaki,” kata orang itu lagi. “Iya yah. Terima kasih atas sarannya,” kata sang bapak. Kemudian mereka pun berpisah.
Menuruti saran orang tersebut maka sang bapak menaikkan sang anak ke kuda. Kuda dinaiki sang anak, sementara sang bapak menuntun saja. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan selanjutnya mereka melewati seseorang. “Dasar anak tidak tahu diri. Masak bapaknya di bawah menuntun kuda. Anaknya enak-enakan naik kuda. Tidak sopan. Pantasnya bapaknya yang sudah tua yang naik dan anaknya yang menuntun. Itu baru anak berbakti,” komentar orang kedua. “Oh iya yah “ kata sang bapak dalam hati. Mereka kemudian bertukar tempat. Sang bapak naik kuda, anak yang menuntun. Perjalanan kemudian mereka lanjutkan.
Dalam perjalanan bertemu lagi dengan orang ketiga. “Dasar bapak tidak sayang anak. Masak ia enak-enakan naik kuda, sementara anaknya yang menutun. Orang tua macam apa yang tidak sayang anaknya,” begitu komentar orang ketiga. Untuk menuruti saran orang ketiga, sang bapak bersama anaknya naik kuda bersama-sama. Berdua mereka naik kuda, dan berharap ini adalah cara terbaik dan tidak dikomentari orang lagi. Perjalanan kemudian mereka lanjutkan.
Dalam perjalanan mereka bertemu orang keempat. “Dasar manusia tidak punya rasa belas kasihan. Masak kuda kurus begitu dinaiki dua orang. Benar-benar manusia biadab,” kata orang keempat.
Kisah di atas gambaran lakon kehidupan kita sehari-hari. Dalam setiap aktivitas gerak kita, tidak luput dari perhatian orang dan tidak sedikit orang tersebut mengomentarinya. Ada yang berkata sinis, ada yang memuji bahkan ada pula yang mencemooh tergantung pekerjaan apa yang dilakukan. Ini menegasikan bahwa dalam hidup ini pasti ada pro dan kontra, karena masing-masing memiliki sudut pandang berbeda dalam melihat sesuatu.
Ada tiga pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini: Pertama, bijaksana dalam menjaga lisan. Bagi orang beriman, puasa ini hendaknya menjadi latihan agar mampu menahan diri untuk tidak meyakiti orang lain dengan lisan. Q.S. Al-Mu’minun ayat 3 menyebutkan: Wallazi’na hun ‘anil-lagwi mu’riduun (“dan orang-orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan/ perkataan) yang tiada berguna”). Dalam tafsir Al-Mukhtasar disebutkan: Dan orang-orang yang meninggalkan segala sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan). Kedua, bijaksana dalam menerima kritikan. Jangan mudah terprovokasi oleh pihak lain. Lakukan pekerjaan itu sesuai dengan keyakinan, tidak perlu terpengaruh dengan orang lain sepanjang yang dilakukan itu adalah benar. Jangan mudah terombang-ambing dengan pikiran orang lain yang membuat kita tidak istiqamah. Kritik dan saran itu penting, kitalah yang menyaring mana yang diikuti dan mana yang tidak. “Karena itu setiap orang harus memiliki prinsip”. Ketiga, bijaksana dalam bertindak. Sebagai makhluk sosial, kita harus memikirkan keadaan orang lain. Tidak boleh semena-mena, karena setiap perbuatan dikontrol oleh orang lain di sekeliling kita, apatah lagi jika yang dilakukan itu salah menurut orang lain. Pada sisi inilah, kita butuh kearifan dan kebijaksanaan dalam bertindak. Wallahul ‘a’lam bishawwab.***

Pos terkait