Sekali Lagi Tentang Dogmatisme Beragama, Belajar dari Kisah Tragis Alhallaj

  • Whatsapp
Hayyun Nur. Foto: istimewa

Namun pekikan Alhallaj itu hanya menjadi gaung tanpa arti. Tak pernah sampai ke telinga  penguasa. Walau tak pernah benar-benar sirna dalam sejarah panjang para pendamba kebenaran. Khalifah sudah membubuhkan tanda tangan. Namun kabarnya, khalifah sejenak sempat bimbang. Bahkan meminta pelaksanaan putusan itu ditangguhkan. Tetapi seorang Wazir segera datang mengingatkannya, “Membiarkan Alhallaj hidup lebih lama, hanya akan menyebabkan hukum menjadi centang-perenang. Bisa jadi akan semakin banyak pula  rakyat yang murtad akibat mengikuti ajaran sesatnya. Bila itu benar-benar terjadi, maka akan menjadi pertanda senjakala bagi kedaulatan dan kekuasaan tuan. Petaka itu hanya akan bisa ditepis dengan satu cara.  Sesegera mungkin melaksanakan hukuman mati terhadapnya.”

Khalifah tentu akan lebih mengedepankan kepentingan kekuasaannya ketimbang hidup Alhallaj. Meskipun hukuman  mati itu telah mengusik nurani keadilannya. 

Bacaan Lainnya

Alhallaj  lalu dipancung. Kepalanya ditancapkan pada sebuah tongkat. Untuk memuaskan hati rakyat yang bergolak. Tubuhnya dibakar. Untuk menenangkan hati dan keprihatian para ahli agama  akibat tindakan Alhallaj yang diangap telah mencemari kesucian akidah.   

Kisah Alhallaj sekali lagi mengajarkan pada kita betapa tragisnya akibat dari dogmatisme beragama. Perilaku beragama yang tertutup.  Hingga tak mampu mengapresiasi kebenaran lain di luar dirinya. Bagi kaum dogmatis, kebenaran menjadi milik mutlak mereka. Tak ada kebenaran lain di luar mereka kecuali kekafiran. Ketika dogmatisme beragama berkolaborasi dengan kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah tragedi kemanusiaan. Alhallaj menjadi salah satu korban paling menyejarah dari kolaborasi manipulatif ini.

Padahal sang sufi penghafal quran itu, boleh jadi menjadi salah satu simbol terbaik. Bagi pencarian manusia pada Kebenaran Sejati. Seorang pencari kebenaran transenden. Beserta visi ketuhanan sangat membumi. Seperti kata Islamolog asal Jerman Annemarie Schimmel.

Alhallaj bisa jadi pula merupakan seorang figur anti kemapanan. Dengan teologi pembebasan yang sepenuhnya berpihak pada kaum lemah terpinggirkan. Teologi yang menyebabkannya             berhadap-hadapan langsung vis a vis penguasa. Gagasan –gagasan spiritualnya menjadi oposisi bagi pihak penguasa. Dikhawatirkan dapat membangkitkan kesadaran spiritual baru bagi kaum terpinggirkan. Hal yang pada gilirannya dapat meruntuhkan struktur sosial politik di masanya.

Pos terkait