Oleh Bambang Sardi (Mahasiswa S3 Teknik Kimia ITS Surabaya dan Dosen Fakultas Teknik UNTAD)
Tanggal 17 Agustus tahun ini, rakyat Indonesia akan kembali merayakan hari kemerdekaan ke-75 yaitu tepatnya tanggal 17 Agustus 2020. Di mana, kemerdekaan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya) dan hak segala bangsa. Jika definisi kemerdekaan ini dijadikan patokan dalam melihat kondisi Indonesia secara terintegrasi, maka akan didapatkan banyak hal di masyarakat yang belum bisa disebut merdeka.
Salah satu permasalahan yang belum merdeka dan hal ini diperparah oleh pendemi Coronavirus Disease–2019 (COVID–19) adalah kasus stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada tubuh dan otak akibat kekurangan gizi dalam waktu lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1.000 hari pertama kelahiran). Hal ini karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin, mineral dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat memengaruhi pertumbuhan anak.
Lalu bagaimana kondisi stunting pada balita secara global dan nasional pada saat pendemi COVID–19 dan perayaan kemerdekaan Indonesia ke-75. Pendemi COVID–19 yang meluas mengakibatkan lesunya perekonomian dunia. Menurunnya pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya status gizi anak. Secara global, diperkirakan terdapat penambahan 700 ribu kasus stuting akibat COVID–19. Dengan demikian, diperkirakan 144 juta anak mengalami stunting di seluruh dunia.
Sedangkan, kondisi stunting secara nasional menurut Analis Kebijakan Ahli Utama Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan, Siswanto menyatakan, pada 2019 prevalensi anak stunting di Indonesia mencapai 27,71%. Artinya, sebanyak 6,5 juta dari populasi 23,2 juta balita di Indonesia yang mengidap masalah stunting. Jumlah yang telah melampaui nilai standar maksimal dari World Health Organization (WHO) yakni sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita dalam suatu negara. Sementara itu, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, angka stunting harus ditekan hingga ke 14% hingga 2024 mendatang.
Kasus stunting nasional dikhawatirkan akan meningkat saat pendemi COVID-19. Menurut Peneliti Madya Bidang Kepakaran Pangan dan Gizi, Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna (P2TTG), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ainia Hermiati ST MSi mengatakan bahwa permasalahan gizi anak merupakan salah satu risiko dampak sosio-ekonomi terhadap anak-anak di Indonesia yang ditimbulkan pendemi COVID-19, di mana 24 juta berisiko lebih tinggi mengalami kurang gizi atau gizi buruk selama pendemi. Pada tingkat kota atau kabupaten di Indonesia, kasus stunting mengalami peningkatan saat pendemi. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ternate, Maluku Utara, mencatat kasus stunting 1,5 persen selama pendemi COVID-19. Hal itu diindikasikan terjadi akibat banyaknya warga yang hanya berdiam diri dalam rumah, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi balita mereka.
Adapun hasil riset Prakarsa menunjukkan penderita stunting Sulbar berada pada peringkat kedua tertinggi di Indonesia setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lalu bagaimana mencegah stunting baik secara global maupun nasional yang diperparah dengan adanya pendemi COVID-19. Penanganan kasus stunting dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan parsial dan pendekatan total. Pendekatan parsial dapat dilakukan dengan memperbanyak makan makanan bergizi yang berasal dari buah dan sayur lokal sejak dalam kandungan. Kemudian diperlukan pula kecukupan gizi remaja perempuan agar ketika dia mengandung saat dewasa tidak kekurangan gizi. Selain itu butuh perhatian pada lingkungan untuk menciptakan akses sanitasi dan air bersih.
Bahkan menurut Analis Kebijakan Ahli Utama Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan, Siswanto menyatakansemua pihak mulai dari pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan, hingga masyarakat harus mendukung hal tersebut. Ibu dan keluarga, kader kesehatan, hingga kepala desa, menurutnya perlu membangun model desa tahan gizi.
Selain itu, puskesmas dan posyandu juga harus menerapkan metode jemput bola agar pemantauan tumbuh kembang anak tetap bisa dilakukan di masa pandemi COVID-19.
Penulis sendiri bekerjasama dengan Rumah Sehat BAZNAS Parigi Moutong telah memberikan pelatihan pembuatan makanan bergizi berupa Virgin Coconut Oil (VCO) dan biskuit blondo, yang keduanya berasal dari buah kelapa dan pembagian gratis kepada sekitar 50 pasien stunting. Hasilnya, menunjukkan adanya penurunan jumlah pasien stunting di Kecamatan Siniu, Parigi Moutong.
Penanganan secara total dapat dilakukan dengan pendekatan sistematik. Di mana, peningkatan kasus stunting saat pendemi tidak menganggetkan masyarakat. Hal ini disebabkan sebelum pendemi COVID-19, Asian Development Bank (ADB) Tahun 2019 melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirments of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020–2045. Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang dikarenakan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah. Hal ini disebabkan banyak lahan pertanian yang berahli fungsi ke non pertanian yang dikuasai korporat, menjadikan para petani tak memiliki lahan untuk berproduksi, kebijakan impor pangan menjadikan rakyat sulit mendapatkan bahan pangan karena mahal, meniscayakan distribusi logistik pangan yang tidak adil yang berimplikasi pada semakin tajamnya ketimpangan sosial. Sistem kesehatan diterapkan dalam mengatasi pandemi COVID-19 yang tidak mampu memisahkan orang sehat dan orang sakit yang berakibat semakin meluaskan penyebaran COVID-19. Alhasil, aktivitas kepentingan umum seperti bekerja mencari nafkah bagi orang sehat menjadi terhambat. Seharusnya sejak awal pandemik negara menelusuri sumber penyakit dan berupaya memisahkan orang yang sakit dan yang sehat, serta mencegah agar penyakit tak meluas.
Sehingga, untuk memerdekakan balita dari kasus stunting bangsa Indonesia membutuhkan suatu sistem yang mampu mensejahterakan rakyat dari segi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. ***