Oleh : Muhd Nur Sangadji (Muhdrezas@yahoo.com)
Di WA group IKA Universitas Tadulako, seorang kawan, Ahyar, meneruskan pesan berikut ini. “Dunia sekarang, sudah sulit bertindak jujur, karena sulit berpikir secara obyektif. Seseorang yang terlanjur dibenci walau orang tersebut berbuat kebaikan, tetap ditonjolkan kesalahannya. Atau pasti selalu menilainya salah, tidak ada benarnya.
Begitu pula sebaliknya, kalau seseorg sangat dicintai, kesalahan apapun dia buat, selalu ditutupi dan dicarikan pembenarannya walaupun salah.
Padahal kalau kita juga, seandainya menjabat jabatan orang yang kita kritisi, belum tentu juga kita lebih baik dari orang yang kita kritik.
Makanya Alquran menyebutkan: “Asaa Ayyakuunuu khairan minhum”. Artinya : Bisa jadi orang yang kamu cemoh, di balik itu dia lebih baik dari kamu yg mencemohkannya (surah al Hujurat). Makanya, berlaku adil lah kamu menilai sesuatu. Dikala sedang marah. Atau, janganlah memutuskan sesuatu dikala kamu sedang marah.
Tidak ada seseorang sempurna, pasti ada plus minusnya. Di sinilah diuji pikiran yang jujur menilai berita hoaks atau bukan. Bisa jadi, kalau terlalu membencinya, berita hoaksnya disebarkan terus, demikian pula sebaliknya. Quran mengatakan chek and re-chek”.
***
Saya membalas pesan bernada nasehat itu dengan uraian berikut.
Pak Ahyar, nasihatnya sangat berhikmah. Insya Allah kita tetap istiqamah dalam fikiran, sikap dan perbuatan.
Sebetulnya hal begini bukan monopoli tabiat masa kini (temporer). Kezaliman dan kebaikan itu selalu ada di setiap episode zaman. Dahulu, banyak yang lebih parah. Allah SWT, sampai membalasnya dengan bencana. Ambil lah dua contoh, dua figur untuk mewakili dua zaman. Firaun dan Namrudz mewakili zaman nabi-nabi. Adolf Hitler dan Benito Musssolini mewakili zaman di akhir abad 19.
Manusia yang hidup di zaman itu pasti juga terpilah selalu pada tiga posisi. Pertama, mereka ada di pihak penzalim. Kedua, ada juga di pihak penentang. Dan ketiga, pihak yang di tengah. Boleh jadi mereka yang terakhir ini netral. Tapi, bisa juga oportunis atau cari selamat. Selalu begitu hingga kini.
***
Sejarah 350 tahun indonesia terjajah memperlihatkan posisi kelompok pertama dan ketiga ini. Mereka kelompok khianat sering menjadi informan atau mata-mata bagi penzalim. Motivasinya adalah materi atau jabatan. Peran spionase inilah yang membuat penjajah bercokol begitu lama, lewat politik pecah belah “devide et empera”.
Jadi benar, tidak akan pernah ada orang disenangi semua orang. Tapi yang terpenting, kita ada di pihak yang benar. Meskipun dibenci manusia satu kolong bumi. Sebagus apa pun akhlaknya kita. Sebab, kurang apa mulianya akhlak para nabi. Tapi relatif, hampir tidak ada nabi yang tidak dibenci oleh umatnya.
Nabi Muhammad SAW dalam keyakinan kaum Muslimin, dilempari umat di negeri Thaif. Riwayat menyebut, berdarah-darah karena gigi beliau patah. Juga, direncanakan dibunuh kaum kafir Qurais hingga hijrah ke Madinah. Sementara, Nabi Isa dalam keyakinan kaum Kristiani, disiksa di tiang salib. Semuanya karena mengajak kepada kebenaran. Lantas, kurang apa akhlak keduanya..? Selembut apa ajakan mereka ?
***
Saya dikirimi cerita tentang lukisan dari pelukis Prancis, Jean Leon Gerome, tahun 1896. Judulnya : “kebenaran keluar dari sumur.” Menurut legenda abad 19, pada suatu hari kebenaran dan kebohongan bertemu. Kebohongan berkata kepada Kebenaran: “Hari ini luar biasa indahnya!”
Kebenaran memandang ke sekeliling dan mengangguk, “Ya, memang indah. Merekapun berjalan-jalan, hingga tibalah di samping sebuah sumur. Kebohongan membujuk kebenaran, “Airnya sangat nyaman, ayo kita mandi bersama. Kebenaran menguji air itu dan ternyata memang sungguh nyaman.
Mereka membuka pakaian dan mulai mandi. Tiba-tiba kebohongan keluar dari air, merebut dan memakai pakaian kebenaran lalu melarikan diri. Kebenaran terkejut dan marah, ia segera keluar dan mengejar kebohongan. Ketika melihat kebenaran telanjang, dunia spontan mengalihkan pandangannya dengan rasa jijik dan marah. Kebenaran yang malang akhirnya kembali ke sumur dan lenyap bersembunyi memendam rasa malunya.
Sejak itu kebohongan berkeliling dengan mengenakan pakaian kebenaran guna memuaskan kebutuhan manusia. Dunia tidak punya keinginan dan keberanian untuk berhadapan dengan kebenaran yang telanjang, yang mengusik hati nuraninya. Tidak ada lagi yang berani melawan kebohongan, meskipun mereka tahu.
***
Berhikmah pada cerita ini, saya berfikir untuk bikin indikator hidup. Berpatoklah pada nurani sendiri. Kalau kita berperangai buruk. Insya Allah yang menolak atau bahkan membenci adalah orang baik. Sebaliknya, kalau kita orang baik. Pasti, yang memusuhi adalah orang jahat. Itu, hukum kehidupan.
Sekarang, tinggal nurani kitalah yang menjawabnya. Masuk kategori yang manakah, kita ? Dan atau, kita berpihak kepada yang mana ? Siapa orang di sekitar, yang senang atau membenci kita ? Siapapun mereka. Pointnya, beranilah benar meskipun sendiri. Karena itulah yang dilakukan oleh semua Nabi dan Rasul. Serta, semua mereka yang hari ini kita elukan sebagai pahlawan. Mereka, yang karena keberaniannya berkorban. Kita Merdeka. Dirgahayu Hari Pahlawan RI ke 75. ***