Rahang Tuna: Dialog Singkat Bersama Rusdy Mastura

  • Whatsapp
Hasanuddin Atjo. Foto: Dok

Oleh Hasanuddin Atjo

Tanggal 8 Desember tahun 2020, saya membuat janji dengan salah satu pengusaha di Kota Palu untuk dialog rencana investasi tambak udang di Provinsi Sulawesi Tengah, yang saat ini menjadi salah satu tujuan investasi yang diminati.
Saat menuju ke cafe & reston TR di Jalan Achmad Yani, kawasan Bumi Nyiur kota Palu, saya dikontak oleh pengusaha itu agar mampir dulu di bangunan hotelnya Jalan Cik Ditiro karena masih ada tamunya.
Dan rupanya, salah satu tamunya adalah pak Rusdy Mastura, calon Gubernur Sulteng 2020-2025. Bergabunglah saya menempati lantai dasar hotel, dengan tempat duduk seadanya karena bangunan hotel dalam proses penyelesaian.
Pemilik hotel kemudian membuka dialog ; sebetulnya kita mau ajak bapak “Gubernur” makan siang rahang tuna dan dada tuna. Kami berempat jadi senyum lepas karena mengingat pencoblosan baru akan dilaksanakan besok hari. Namun pak Rusdy menimpali Insyah Allah dan dijawab kami bertiga Amin.
Pak Rusdi Mastura dan sapaan akrabnya Bung Cudi, kemudian berkomentar bahwa kalau bicara tentang Tuna, pak doktor ini yang paham seluk beluknya, karena lebih 12 tahun sebagai kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng. Sengaja Gubernur Paliudju
memanggil pulang anak kelahiran Poso dari Makassar untuk kembali membangun daerah.
Dalam hati saya berkata: luar biasa memori pak Rusdi Mastura , karena masih segar terekam olehnya saat saya untuk pertama kali berdinas di Sulawesi Tengah tahun 2007, dan saat itu beliau menjabat sebagai wali kota Palu.
Dan kedua, sejak dulu kalau sudah membicarakan sektor Kelautan dan Perikanan, beliau selalu terpanggil untuk mendiskusikan lebih dalam. Mungkin paham akan potensi yang begitu besar, namun ironisnya jumlah warga miskin di pesisir juga tinggi, seperti pepatah “ayam mati di lumbung padi”.
Saya kemudian mulai angkat bicara bahwa Sulawesi Tengah adalah salah satu penghasil ikan Tuna Sirip Kuning dan disebut dengan Yellow Fin Tuna atau biasa juga disebut Big Eye. Komoditas ini menjadi salah satu jenis Sea Food populer dan banyak dibutuhkan di Jepang, AS dan Uni Eropa.
Kawasan selat Makassar, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, serta Teluk Tolo menjadi sumber Tuna bagi Sulawesi Tengah. Selat Makassar dan Laut Sulawesi yang berarus deras adalah pemasok utama Tuna di Sulawesi Tengah.
Ini antara lain disebabkan dalam siklus hidupnya Tuna wajib terus berenang, dan tidak boleh berhenti. Jika berhenti berenang, maka tuna tersebut bisa mati lemas kehabisan oksigen, karena oksigen hanya bisa masuk ke sistem pernapasan kalau ada sejumlah air laut kaya oksigen yang masuk melewati mulut dan insangnya.
Dari sisi mutu, Tuna kita umumnya berada pada posisi grade B, belum grade A yang bisa dibuat shashimi, makanan khas Jepang yaitu irisan tipis daging tuna segar (grade A) yang dicampur sejenis kecap asin.
Harga Tuna grade A bisa dihargai US$ 7-8 /kg di tingkat nelayan, dan grade B US$ 3-4/kg. Mutu grade A paling lama 24 jam sejak ditangkap tuna tersebut tiba di negara tujuan Jepang, untuk masuk pasar lelang.
Sstem logistik Ikan Sulteng yang belum mendukung, termasuk status bandara Mutiara Sis Al Jufrie masih kategori kelas satu menjadi salah satu sebab sulit masuk kategori mutu grade A. Karena itu sudah ada gagasan menaikkan status Sis Al Jufrie atau membangun bandara baru di Lappaloang Donggala, agar bisa ekspor direct ke Negara Tujuan
Saat ini ikan Tuna kita umumnya masuk mutu grade B, dan diekspor dalam bentuk loin, yaitu daging tuna dalam bentuk kontak ukuran 1 kg. Cara seperti ini banyak hasilkan limbah antara lain kepala tuna dan tetelan daging serta tulang ikan.
Awalnya kepala Tuna pasarnya terbatas hanya di suply ke pasar tradisional, dengan harga yang tidak pasti karena pasar terbatas. Di tahun 2019 awal, saya bertemu
dengan pak Roy, owner Restoran Pantai Ria yang restonya tersapu pasang tsunami tahun 2018 lalu dan membangun kembali bisnisnya di Jalan Achmad Yani Palu dengan nama cafe & resto TR.
Saat itu saya memberi saran untuk mengolah limbah Tuna berupa Kepala dan Dada Tuna menjadi salah satu menu khasnya. Enam bulan setelah itu cafe & resto TR mulai menyajikan makanan khas tuna dalam bentuk “rahang tuna bakar” dan “palumara dada tuna”
Informasi yang saya dapatkan dari pak Roy bahwa saat ini bahwa setiap minggu restonya menyerap kepala tuna dan dada tuna paling kurang masing masing 100 kg. Tadinya harganya hanya 35 ribu per kg, saat ini telah dihargai 50 ribu rupiah per kgnya.
Inilah sebuah contoh kecil terkait nilai tambah yang menjadi impian Bung Rusdi Mastura dan oleh MC Kensey disebut dengan penerapan strategi Blue Economy yang akan berdampak terhadap nilai yang diterima oleh semua sub sistem pada rantai nilai bisnis itu, mulai nelayan tangkap, pengumpul dan pemasar.
Karena waktu sudah jam 14.00 Wita, kita akhiri dialog singkat dan berharap kiranya Bung Cudi diberi amanah menjadi Gubernur Sulteng, agar konsep Blue Economy menjadi salah satu program prioritasnya. Semuanya mengucapkan Amin dan kami berpisah dengan Pak Rusdy Mastura menuju cafe & Resto TR. SEMOGA

Pos terkait