Sebagai warga negara harus patuh pada kebijakan negara. Inilah kewajiban yang harus disampaikan dengan segala kebijaksanaan oleh penyelenggara negara kepada warga negaranya, di samping pemenuhan hak haknya. Sebagai penganut agama wajib menaati perintah agama, inilah kewajiban yang diberikan Tuhan melalui nabi dan Rasul NYA, untuk diteruskan dengan penuh “hikmah” oleh para pewaris nabi kepada penganut agamanya.
Pada titik inilah kompromi dalam makna toleransi antara kedua otoritas perlu untuk disegarkan kembali, mengingat perjalanan sejarah bangsa sudah relatif panjang bila ditarik dari generasi akhir masa kolonial sebagai peletak dasar berdirinya NKRI sampai dengan generasi milenial saat ini.
Berkaca dari tragedi tewasnya enam orang anggota FPI, yang berusia antara 22 sampai dengan 33 tahun yang notabene adalah generasi melinia, sangat dimungkinkan bahwa saat ini sedang terjadi kesenjangan bahkan mungkin bias pamahaman “toleransi”antar generasi, yang dengan mudah dimanfaatkan oleh oknum yang mungkin ditokohkan, baik dari kalangan penyelenggara negara maupun agamawan, politisi bahkan mungkin artis.
Jika fungsi agama dibatasi secara ketat dan tidak mendapatkan ruang yang porporsional di ranah publik, maka akan melahirkan kebijakan publik yang kering dari nilai Ketuhanan, yang kemudian menggiring agama berkembang di pinggiran tanpa kontrol yang memamadai. Situasi seperti ini semakin tidak kondunsif, karena bisa jadi mendorong agama berkembang menjadi kekuatan “fundamentalis” di satu kutub, yang kemudian berhadap hadapan dengan kekuasaan yang hampa nilai Ketuhanan dan cendurung otoriter, di kutub yang lain. Inilah situasi yang diantisipasi para pendiri republik, menjaga ranah publik dari benturan dua otoritas besar negara dan agama, yang kemudian melahirikan ijtihad jalan tengah.
Sesungguhnya bangsa ini telah “khatam” berulang ulang dalam urusan toleransi sesama pemeluk agama, antar pemeluk agama, agama dan negara (baca pemerintah). Persoalan muncul ketika hubungan antar individu berakumulasi menjadi hubungan antar kelompok atau komunitas yang otoritasnya terpusat pada figur atau jabatan negara tertentu. Dengan kekuatan kewenangan lembaga atau jabatan tertentu bisa saja digunakan sebagai alat untuk menggeser bahkan menggususr posisi agama di ranah publik. Kekhawatiran ini melahirkan sakwasangka yang berlebihan, seakan sedang terjadi proses kriminalisasi penggiat agama. Demikian halnya ketika klaim kebenaran agama tersentralisasi pada komunitas atau figur tertentu, melahirkan pula kecurigaan, ada upaya oknum untuk membajak kebenaran agama untuk kepentingan tertentu pula, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan negara.