Oleh Muhd Nur Sangadji
Setahun silam, tepat tanggal 1 Juni, saya diwawancarai RRI cabang Palu tentang relevansi Nilai Pancasila di era Covid 19. Saya berikan pandangan saat itu. Justru, di era Covid 19 inilah nilai Pancasila itu menemukan makna hakikinya.
Covid 19 memaksakan kita untuk mengakui bahwa daya upaya selalu terbatas. Tanpa bantuan Ilahi, tidak ada jalan keluar. Maka, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah jawabannya. Di era ini pun, empati dan rasa kemanusiaan harus lahir dalam menghadapi bebannya wabah yang tak nampak ini.
Persatuan gerak dan kekompakan yang dibangun dengan semangat saling mendengar (musyawarah) mutlak diperlukan. Semuanya berjalan dengan baik bila rasa keadilan hadir dalam praktek bernegara dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sakarang, di bulan lahirnya Pancasila ini, ada kawan yang bilang begini. Keliru bila digunakan diksi ” Kita memperingati hari lahirnya Pancasila”. Mestinya, kata beliau, “Pancasila memperingati kita”. Mengapa.? Karena kian lama, nilai nilainya makin kita abaikan.
Padahal, dia, Pancasila itu, menyimpan fondasi kokoh tentang alasan, mengapa bangsa Indonesia itu ada. Gus Dur selalu mengulang filosofi dari negerinya Napoleon itu. “La raison d’etre d’une nation” (alasan berdiri sebuah Bangsa). Dan, setelah Bangsa ini berdiri. Kekokohan idiologi ini terus diuji dari generasi ke generasi.
Ada idiologi lain yang merasuk. Komunisme sebagai contoh. Kemudian gagal. Lalu, kita sepakat di hari kegagalan itu, ditetapkan sebagai hari kesaktiannya Pancasila. Tentu, tidak ada jaminan keabadian idiologi Pancasila ini terpatri di jiwa generasi bangsa. Karena itu, harus ada upaya terus menerus untuk tumbuhkan rasa cinta tanah air.
Kita semua warga bangsa bertanggung jawab merawatnya. Pertama, dengan apa yang kita punya. Kedua, dengan apa yang kita bisa. Marilah berkontribusi untuk negeri yang di punggungnya, anak anak kita lahir. Karena hobi saya menulis. Maka sesederhana ini yang saya bisa beri.
Saya juga pernah menulis artikel lebih 10 an tahun silam. Judulnya, “Pancasila Dipunggungi”. Di artikel ini saya ingin bilang bahwa dalam prakteknya, Pancasila sering ditinggalkan. Dan, atau dijadikan tameng kekuasaan. Dahulu, ada P4. Sesungguhnya sangat baik. Tapi, indoktrinasi azas tunggal Pancasila kala itu, ditenggarai sebagai cara melanggengkan kekuasaan.
Berharap, di hari yang kita konsensuskan sebagai hari jadinya Pancasila ini. Nilai nilainya kian nampak pada perilaku kita untuk diteladani oleh generasi. Sebab, keteladanan akan lebih dahsyat pengaruhnya dari pada sekedar indoktrinasi. Sudah cukuplah pelajaran dari perjalanan masa lalunya bangsa Ini.
Karena itu, Prof Azumardi Azra memberi nasehat menarik. Kata beliau, “Peringatan hari lahirnya Pancasila seharusnya membuat kita merasa sedih dan pedih karena begitu banyak penyimpangan dari idealitas dan nilai Pancasila secara kasat mata. Sudah waktunya mereka yang berada dalam posisi otoritatif di negara ini melaksanakan Pancasila secara sungguh-sungguh, tidak hanya bermulut manis tentang Pancasila”.
Karib saya, Zaim Ukrawi, wartawan senior di Jakarta juga kirim kalimat berikut ; “Saatnya Pancasila dibudayakan dengan pendekatan karakter. Pendekatan ideologi lebih diperlukan untuk kepentingan politik bernegara. Tidak efektif buat memajukan masyarakat. Pendekatan karakter akan membuat masyarakat antusias kembangkan nilai-niai Pancasila dalam dirinya karena akan membantu memudahkan sukses”.
Terlihat demikian banyak orang berharap agar idiologi ini terpraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Semogalah berwujud. Salam sehat dari Kampus Kaktus Bumi Tadulako, Lembah Palu, Sulawesi Tengah untuk Indonesia. ***