Makanan itu, identitas bangsa. Tapi, lebih mikro lagi, identitas satu komunitas dalam sebuah bangsa. Dia, mewakili diversitas. Mengikuti agroklimat yang berbeda-beda secara alamiah. Kesalahan besar kita adalah menyamakannya. Padahal, kita punya semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Jadilah Indonesia sebagai bangsa beras.
Inilah pangkal soalnya. Makanan dari banyak penduduk kita yang tersimpan dalam lumbung alam bernama tanah. Jenisnya, umbi-umbian. Dipaksa naik ke permukaan bernama padi-padian. Begitu juga yang terlindung dalam batang-batang sagu yang tumbuh berumpun dan kokoh. Ditebang habis untuk sawah dan kebun sawit. Ini semua adalah problem hulu, untuk kepentingan konsumsi nasi dan minyak goreng. Di sektor hilir pun kita bermasalah.
Dua pengalaman di hilir, saya gunakan sebagai lanjutan tulisan ini. Pertama, kejadian pada tahun 1994 di kota Lyon Perancis. Kala itu, saya pergi belanja di toko Exotik yang menjual produk pertanian Afrika dan Asia. Saya menemukan banyak sekali produk Afrika dan Asia terutama, Thailand, ada di sini. Mencoba temukan produk Indonesia, saya hanya menemukan kaleng kecil sekali bertuliskan Sambal Ulek. Pikir ku, syukurlah ada sambal yang mewakili Indonesia di sini. Ternyata, kaleng itu bertuliskan “Made in Holland”.
Pengalaman kedua, terjadi tahun 2008 di kota Melbourne. Di sini saya jadi saksi, bagaimana kesalnya seorang ibu rumah tangga asal Indonesia kepada menteri pertanian kita. Waktu itu kementerian ini dijabat oleh Anton Prihantono. Ibu itu berkata begini. “Pak menteri apa yang telah kita buat, sampai kirim daun pisang saja kita tidak mampu”. Di pasar-pasar kota Melbourne ini, saya beli daun pisang asal Thailand dengan harga yang lumayan mahal”.
Kalau Eropa berjarak sekitar 15 jam penerbangan. Maka, Australia relatif 3 sampai 6 jam saja. Tapi, kedua jarak yang menyolok ini, produk pertanian dari negeri Gajah putih itu, membanjiri pasar. Dan kita, tidak. Lalu, apa yang perlu kita belajar, untuk tidak bertanya, apa yang salah dengan kita..? Perlu kajian komprehensif. Tapi, di tulisan ini, saya urus aktor dan ruang nafkah saja dahulu. (Bersambung).
(Penulis adalah Associate Profesor bidang Ekologi Manusia di Faperta Universitas Tadulako)