Oleh Muhd Nur SANGADJI
“BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi”.
Potongan lagu Iwan fals ini sangat melegenda. Diciptakan sebagai respons atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Hal menarik dari diksi dalam lirik ini adalah kaitan harga BBM dan nilai gizi generasi. Sesuatu yang tidak terpikirkan lagi setiap kali ada kenaikan BBM. Itu begitu karena kenaikan harga BBM terkait daya beli masyarakat. Tentu, daya beli pangan secara umum. Tapi, terpenting disadari bahwa ujung dari pangan adalah nilai gizi. Dan, gizi generasi adalah taruhan keberlanjutan satu bangsa.
Banyak orang, menyoal logika naikan harga BBM. Mulai dari proses produksinya hingga perbandingan harga antar negara dan pendapatan perkapita penduduknya. Dibalik persoalan rasionalitas ini, sesungguhnya tersembunyi kecurigaan publik terhadap upaya pemerintah tersebut.
Itulah sebabnya, saya memandang persoalan kenaikkan Ini, bukan cuma soal kebijakan. Ini soal “good governance”. Di sana dipersoalkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Karena, setiap kebijakan itu membutuhkan dukungan publik. Dan, dukungan publik itu berkait kepercayaan. Jadi, kebijakan yang sesungguhnya adalah kepercayaan. Kalau publik percaya, kebijakan apa pun yang diambil akan didukung tanpa batas. Bahkan, dengan pengorbanan harta dan jiwa.
*****
Kita pernah punya saat, dimana rakyat beri apa saja untuk negara. Coba buka cerita yang hidup di sejarah nasional maupun lokal. Rakyat berlomba beri apa yang mereka punya untuk negara. Ada yang berikan dana segar. Ada yang hibahkan tanah untuk perkantoran, sekolah dan fasilitas umum lainnya Jauh sebelumnya di zaman kemerdekaan. Mereka rakyat jelata ini, beri jiwa secara patriotik, agar kita merdeka dan bangsa ini punya negara. Pengorbanan yang sangat agung tidak berbanding.
Karena itu, tidak sebanding pula bila hanya sekadar harga BBM yg naik beberapa ribu saja. Masa sih, rakyat tidak rela untuk kepentingan Negara dengan memberi dua ribuan lebih rupiah tambahan saja untuk Petralite, misalnya?