PALUEKSPRES,MAKASSAR- Edmond Leonardo Siahaan SH,MH, Advokat/Pendiri LBH Sulawesi Tengah/Mantan Koordinator KontraS Sulawesi menegaskan bahwa kasus suap Calon Siswa (Casis) Polri yang terjadi di Sulteng adalah Pidana Korupsi.
Ada tiga poin yang diutarakan Edmond dalam siaran persnya yang diterima PaluEkspres, Selasa malam (16/8/2022).
Berikut pernyataan Edmond:
Maka perlu saya tegaskan:
Pada kasus suap Casis Polri yang sama, pernah terjadi di Polda Sumatera Selatan (Sumsel), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda 200 juta terhadap mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid Dokkes) Polda Sumsel, Kombes (Purn) Soesilo Pradoto, hakim juga menjatuhkan vonis kepada AKBP Saiful Yahya. Keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana korupsi bersama-sama dengan menerima suap Rp 6 miliar. Para terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu Briptu D dan jaringan calonya harus dikenakan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Proses hukum yang seharusnya berjalan cepat, terasa sangat lambat, penangkapan Bripda D yang dilakukan pada 28 Juli 2022 lalu hanya sampai diperkara Kode Etik. Sangat disayangkan bahwa sampai dengan tanggal 17 Agustus 2022 tepat Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke 77, sidang Kode Etik pun belum digelar.
- Saya tidak percaya bahwa Briptu D ini bekerja sendirian dalam tindak pidana korupsi suap Casis Polri Gelombang II Tahun Anggaran 2022 ini. Bagaimana mungkin seorang D yang hanya berpangkat Briptu bisa bekerja sendirian. Apabila Polda Sulteng mau sungguh-sungguh memberantas calo, praktek suap dan tindak pidana korupsi suap ini maka harus membongkar jaringan calo Briptu D ini. Sekalipun itu melibatkan banyak Perwira Menengah atau Perwira Tinggi. Inilah saatnya Polda Sulteng bersih-bersih diri agar lebih profesional ke depannya dalam penerimaan dan perekrutan Casis Polri bukan dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa Briptu D bekerja sendirian.
- Suap bukanlah pelanggaran Kode Etik, tapi gratifikasi adalah suap merupakan tindak pidana korupsi, apalagi dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bunyi Pasal 12
Pasal 12
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sekali lagi saya tegaskan bahwa praktek calo yang dilakukan oleh Briptu D adalah pidana korupsi, bukan pelanggaran Kode Etik.