Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai dasar untuk mewujudkan keseimbangan dalam wilayah. Maka Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tolitoli menggagas revisi RTRW mulai dikerjakan tahun 2019 dengan maksud agar pembangunan infrastruktur di daerah tersebut menjadi terarah dan teratur.
Hal lain yang menjadi penting jika RTRW yang digagas itu dikerjakan asal-asalan secara pisikologi politik akan menimbulkan rawan konflik dan rawan gerakan massa karena sengketa lahan seperti yang terjadi di daerah lain, misalnya di Mesuji Lampung beberapa waktu lalu.
RTRW yang amburadul bisa dipastikan menimbulkan konflik yang melibatkan negara, rakyat, dan pengusaha. Kekuatan lokal tidak memiliki kemampuan menggerakkan ekonominya disebabkan terus berketergantungan pada investasi. Kesenjangan keterampilan yang kemudian mendorong masuknya pengusaha luar, lalu terjadi praktek pencaplokan dan pengambil alihan lahan untuk industri dan perusahaan yang meluas.
Hal itu bisa dimungkinkan akibat RTRW di suatu daerah hanya hasil copy paste dari kabupaten lain oleh konsultan dan orang yang mengaku ahli padahal tidak memiliki sertifikat keahlian. RTRW yang asal-asalan akan menjadi sumber masalah di masyarakat terutama soal sengketa lahan.
Proyek kertas revisi RTRW di Kabupaten Tolitoli sudah dua tahun lebih lamanya belum tuntas, produk RTRW senilai Rp1,2 Miliar itu malah pernah diperiksa penegak hukum namun memunculkan keraguan publik.
Keraguan publik menyasar kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) sebagai penanggung jawab proyek, mereka berdua apakah masih terus berupaya agar proyek yang mereka tangani dapat diselesaikan dengan harapan agar anggaran yang sebelumnya Rp1,2 Miliar masih mendapat penambahan anggaran Pemda setempat.
Sebagai pejabat yang berwenang sehingga proyek RTRW tersebut telah dikerjakan pihak rekanan PT Bennata Jasindo senilai Rp1,2 Miliar tahun 2019 sebetulnya berkewajiban melakukan upaya untuk menyelesaikan proyek kertas itu mengingat Desa Oyom Kecamatan Lampasio memiliki potensi tambang tembaga yang pernah dilakukan pengolahan secara illegal oleh pihak tertentu.