MBG dikritik, saat Presiden Prabowo Subianto kali pertama menggagasnya. Ada pula yang memujinya. Ini Lazim. Kebijakan publik kerap kali melahirkan silang pendapat.
Oleh: Jafar G Bua*
Makanan, seperti hal-hal lain yang menyentuh hajat hidup orang banyak, tak pernah sekadar perkara pangan. Di dalamnya ada ideologi, ada politik, ada sejarah, dan ada banyak kepentingan — mungkin yang terang benderang maupun yang terselubung. Sepiring nasi bisa mencerminkan wajah sebuah negara, mentalitas pemimpinnya, dan arah kebijakannya.
Ketika Presiden Prabowo Subianto menggagas program Makanan Bergizi Gratis (MBG), kritik pun mengemuka. Lazim. Tiada yang aneh. Kebijakan publik memang selalu melahirkan silang pendapat. Namun, barangkali, di balik hiruk-pikuk kritik dan pujian itu, ada satu pertanyaan mendasar: Mengapa sebuah negara memberi makan rakyatnya?
Jawabannya bisa ditemukan dalam sejarah. Tahun 1946, di Amerika Serikat, Presiden Harry S. Truman mengesahkan National School Lunch Program (NSLP), program makan siang gratis bagi anak-anak sekolah. Ini bukan semata-mata tindakan filantropis negara. Latar belakangnya adalah sebuah kenyataan pahit: banyak pemuda Amerika ditolak masuk militer selama Perang Dunia II karena kekurangan gizi. Negeri Paman Sam sadar, rakyat yang lapar adalah rakyat yang lemah. Anak-anak yang tak cukup makan adalah generasi yang gagal sebelum sempat tumbuh.
Di balik NSLP saat itu, ada banyak kepentingan yang berkelindan. Di satu sisi, program ini adalah upaya meningkatkan kesehatan dan produktivitas masa depan. Anak-anak yang cukup gizi akan tumbuh menjadi tenaga kerja yang lebih kuat dan efisien. Di sisi lain, NSLP menopang harga pangan dengan menyerap surplus pertanian. Ada kepentingan industri di sana—petani gandum, peternak susu, hingga korporasi makanan olahan.
Namun, tak semua orang menerima NSLP dengan tangan terbuka. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk sosialisme terselubung. Bukankah memberi makan anak-anak adalah tugas keluarga? Seorang senator bahkan pernah menyindir, “Jika kita memberi mereka makan di sekolah, sebentar lagi kita harus memberi mereka pakaian dan tempat tinggal.” Ironi ini terasa pedih di negeri yang begitu mengagungkan kebebasan individu, namun tetap menggantungkan kebutuhan dasar pada intervensi negara.






