Revolusi Sunyi R.A. Kartini

  • Whatsapp

M. Ridho Kholid

FEODALISME begitu nyata di era Hindia Belanda. Feodalisme ketika itu bahkan ikut berperan mengisbatkan patriarkhisme di hampir seluruh sendi kehidupan: para lelakilah pemegang kendali tunggal kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan hitam-putihnya takdir kaum perempuan.

Kolonialisme jelas melahirkan perbudakan, penistaan harga diri pribumi, dan turut mengokohkan budaya patriakhisme itu. Juga tentu saja, menanamkan benih-benih fasisme. “Penjajahan Belanda itu menghimpun kekuatan dengan perkawinan ratio modern dengan feodalisme Indonesia,” kata Sutan Sjahrir; sehingga menjadi contoh fasisme yang terutama dari fasisme di bumi”.

Bacaan Lainnya

Menurut Sjahrir, fasisme ini jauh sebelum fasisme Hitler dan Mussolini. Jauh sebelum mereka mendirikan kamp-kamp konsentrasi Buchenwald atau Belsen, Boven Digoel sudah lebih dulu diadakan. Untungnya, di hadapan kuasa bengis kolonialisme yang bersekutu dengan feodalisme lokal yang partriarkhis itu, hadir sosok-sosok seperti Rohana Kudus, Dewi Sartika, Martha Tiahahu, Malahayati, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, juga Cut Nyak Dien.

Merekalah, jika boleh meminjam kata-kata penyair Hartojo Andangdjaja dalam sebuah sajaknya,  “perempuan-perempuan perkasa” yang berfikiran sangat maju.

Perempuan-perempuan yang berusaha menjawab berbagai masalah yang muncul akibat menjadi manusia
terkungkung. Terkungkung dalam struktur kekuasaan sosio-politik ketika itu.

Tanpa mengerdilkan nama-nama besar lain dari para pejuang perempuan yang disebutkan tadi, ada sosok yang terlihat lebih lembut: R.A. Kartini. Ia hanya berjuang dalam ‘kesunyiannya’. R.A. Kartini barangkali bisa disebut sebagai salah satu pahlawan perempuan yang unik. Menarik. Sebab, ia berjuang mencari kebebasan dan kemerdekaannya dengan cara yang lain.

Alih-alih memanggul senjata, seperti Cut Nyak Dien misalnya, ia berjuang merebut kemerdekaan
dengan mengguratkan gagasan-gagasan liberatif yang ia rumuskan dalam kamar yang sunyi. Sendiri.

Begitulah, RA Kartini mungkin sosok yang percaya bahwa ‘kesunyian itu mengandung karunia kebebasan’—’The gift of loneliness, which is the gift of liberty’—seperti suatu ketika kata-kata Chesterton tersebut disitir Goenawan Mohamad dalam sebuah Catatan Pinggir-nya.

Pos terkait