PALU EKSPRES, PALU – Pernyataan Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aminuddin Ma’ruf, pada pembukaan Kongres XIX PMII di Palu, Selasa 16 Mei 2017, yang dinilai menyinggung masyarakat Kaili, akhirnya berujung givu nu ada (sanksi keadatan Kaili).
Aminuddin telah menyampaikan permohonan maafnya, saat bertemu langsung dengan Gubernur Sulteng di Gubernuran Siranindi, Rabu 17 Mei 2017, kemudian di hadapan para tetua dan perwakilan adat Kaili serta jamaah salat magrib di Masjid Agung Darussalam Palu, di hari yang sama,
“Di hadapan jamaah Masjid Agung, dan juga sebagian lembaga adat tetua adat di wilayah keadatan tanah Kaili ini, Ketum itu menyampaikan permohonan maafnya, dan kami atas nama lembaga keadatan tanah Kaili, menerima permohonan maaf yang disampaikan itu,” kata Wakil Ketua Dewan Adat Kota Palu, Arifin Sunusi kepada wartawan.
“Bagaimanapun juga, selaku anak muda yang bersemangat dan berapi-api, ingin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, oleh sebab itu lembaga keadatan di tanah Kaili menerima permintaan maafnya,” lanjutnya.
Meskipun telah dimaafkan, Arifin mengungkapkan, yang bersangkutan tetap akan dikenakan givu, akibat telah melakukan pelanggaran nilai keadatan.
“Tetapi permohonan maaf itu, tidak serta merta menghilangkan nilai keadatan, yang dia sampaikan. Artinya, dalam keadatan di tanah Kaili ini, apa yang disampaikan Ketum itu, berkaitan dengan nilai adat yang namanya sala mbivi, maksudnya salah bicara,” tegas Arifin.
Ia menjelaskan, konsekuensi yang harus diterima oleh Aminuddin, ialah membayar givu berupa 3 ekor kambing dan 30 buah piring makan. Sanksi tersebut harus dibayar dalam jangka waktu yang ditentukan nantinya, dantidak boleh diganti dalam bentuk uang tunai.
“Jadi, dia akan menerima sanksi, dalam bentuk 3 ekor kambing dan 30 buah piring makan. Itu yang harus dia bayarkan, dalam wilayah keadatan tanah Kaili, dan tidak boleh diuangkan,” imbuh Arifin.
Sanksi berupa 3 ekor kambing tersebut, lanjut Arifin, nantinya akan disembelih, dimasak lalu dimakan secara bersama-sama, dengan 30 orang tokoh adat akan duduk dalam perjamuan makan tersebut. Pelaksanaan adat tersebut, akan menunggu waktu yang ditentukan kemudian.