Ketika berada dalam shaf di dalam masjid, kita jarang menemukan jamaah Indonesia yang seenaknya melangkahi jamaah yang sedang duduk apalagi sedang shalat.
Jamaah dari negera lain, tanpa beban melangkahi jamaah karena sedang mencari posisi shaf yang kosong, bahkan mereka tanpa sungkan melangkahi orang yang sedang shalat sunah atau shalat wajib. Fenomena seperti ini seperti menjadi hal yang biasa di Masjidil Haram, bahkan petugas keamanan di Masjdil Haram terkadang meminta jamaah berhenti shalat sunnah ketika sebuat alat berat akan dipindahkan didalam Masjidil Haram yang sedang direnovasi itu.
Itulah wajah Islam nusantara jika diturunkan dalam tingkatan praksis. Seorang jamaah dari Brunei saat kami berbincang tentang perilaku intoleran jamaah dari belahan dunia lain saat menanti waktu azan tiba, bilang pada saya, jamaah asal ASEAN umumnya sangat sopan.
Saya juga sempat berbincang untuk waktu yang beda dengan jamaah asal Afganistan, saat menanti waktu shalat magrib dan jamaah asal Iran saat menanti shalat subuh di pelataran Kabah, mereka secara terbuka menyampaikan kekagumannya terhadap calon jamaah haji Indonesia, yang sopan dan sangat hormat terhadap jamaah lain.
Bahkan petugas kebersihan Masjidil Haram sangat senang dengan jamaah Indonesia. Mereka sering bilang: Indonesia bagus.
Dalam pikiran saya yang sangat sederhana berpikir, itulah wajah Islam Nusantara yang tengah “didemonstrasikan” jamaah haji Indonesia yang toleran, sopan, terbuka dengan jamaah dari negara lain. Bangga rasanya bisa melihat secara langsung fenomena ini.
Tapi yang saya heran – dan ini membutuhkan kajian para sosiolog – mengapa ketika kita bertemu dengan sesama jamaah asal Indonesia, sikap toleran itu terkadang tenggelam ditelan oleh sikap egoisme masing-masing.
Seperti rebutan naik bus jemputan, atau rebutan masuk pintu lift hotel. Heran awak menyaksikan itu. Selamat berpuasa untuk anda yang sedang menjani shaum ramadhan 1438 hijriah.
Penulis merupakan praktisi komunikasi massa
***