Shiyam, Jujur dan Kendali Diri

  • Whatsapp

Oleh: Amin Parakkasi, S.Ag., M.H.I

(Sekretaris PW Muhammadiyah Sulteng)

Bacaan Lainnya

PALU EKSPRES, PALU – Saat ini kita berada dalam bulan Ramadan, yang oleh sebagian besar umat Islam menyambutnya dengan berbagai cara. Pertanyaan besar yang perlu dijawab, adalah sudahkah umat ini menyambut Ramadan dengan tepat, atau hanya sekadar mengagungkannya sebagai bulan yang penuh berkah, bulan ampunan, tetapi tidak maksimal dalam menggali maknanya.

Jika dimaknai secara bahasa, Ramadan berarti “membakar” atau “mengasah”. Ia dinamai demikian, karena pada bulan Ramadan dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar. Manusia manakah yang dibakar dosanya? Tentu tidak terjadi secara otomatis. Untuk menggapainya, diperlukan kesadaran dan amal saleh.

Bulan Ramadan harus dijadikan sebagai tanah yang subur, yang siap ditaburi benih-benih kebajikan. Semua orang beriman dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Bagi yang lalai, tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.

Sebagaimana masyhur diketahui, bahwa ibadah utama yang diwajibkan dalam bulan Ramadan, adalah Shiyam (puasa). Shiyam dalam bahasa Alquran berarti “menahan diri”. Alquran ketika menetapkan kewajiban puasa, tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi reaksi yang digunakan dalam bentuk pasif “kutiba (diwajibkan) atas kamu shiyam…. (QS. 2: 183).

Prof. Quraish Shihab menyebutkan “agaknya redaksi tersebut sengaja dipilih, untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya, pada saat ia menyadari betapa banyak manfaat di balik shiyam itu.” (Lentera Hati: 1994).

Shiyam adalah ibadah kejujuran sekaligus melatih diri untuk jujur. Orang yang tidak jujur akan kesulitan melaksanakan ibadah puasa, karena puasa merupakan ibadah yang bersifat individual.

Dalam keseharian kita susah membedakan orang puasa dan tidak puasa. Mungkin yang kelihatannya dua orang sama-sama tidak makan dam minum pada siang hari, satu di antaranya tidak berpuasa, tetapi kita kesulitan mengetahui siapa yang berpuasa dan siapa yang tidak. Lain halnya ibadah lain, yang bisa diukur secara langsung, misalnya orang salat berjamaah di Masjid, pasti diketahui oleh orang lain. Begitupun mengeluarkan zakat pasti ada yang menerima, dan ibadah-ibadah lainnya.

Pos terkait