Empat Keanehan Perpres Gaji BPIP menurut Fadli Zon

  • Whatsapp
Wakil Ketua DPR Fadli Zon

PALU EKSPRES, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, tidak sepantasnya sebuah lembaga non-struktural seperti BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di lembaga-lembaga tinggi kenegaraan.

Menurut dia, pemberian gaji BPIP yang tertuang di Perpres Nomor 42 tahun 2018 itu menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran. Sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu didengung-dengungkan.

Bacaan Lainnya

“Di tengah keprihatinan perekonomian nasional, pemerintah malah menghambur-hamburkan anggaran untuk sebuah lembaga ad hoc,” ungkapnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan, ada empat cacat serius yang terkandung dalam perpres tersebut. Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham.

Beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif. Nah, struktur gaji di BPIP aneh. Bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri?.

Kedua, dari sisi etis. Lembaga itu bukan BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta. Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kenapa standar gajinya bisa setinggi langit begitu?

“Coba bayangkan, gaji presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu.” tuturnya.

Ketiga, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi. Presiden Joko Widodo selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Tapi, pada saat bersamaan, presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.

Keempat, dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya distop, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada. “Saya meminta pun meminta agar perpres itu ditinjau kembali,” tegasnya.

Pos terkait