Indonesia Belum Merdeka dari Korupsi

  • Whatsapp

INDONESIA belum merdeka, sebab negara ini belum terbebas dari korupsi. Mungkin kesimpulan itu akan disepakati oleh dua mantan penegak hukum yang terkenal berintegritas: Baharuddin Lopa dan Hoegeng Imam Santoso, seandainya sampai saat ini mereka masih hidup. Sebab, kemerderkaan Indonesia yang tahun ini telah berumur 70 tahun, masih dirundung berbagai kasus korupsi.
Wajar saja jika kesimpulan itu muncul. Karena berdasarkan dari data Transparancy International (TI), Index Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2014 berada pada urutan 107 dari 174 negara. Negara yang dianggap paling bersih dari korupsi dengan menduduki peringkat pertama adalah Denmark. Singapura yang notabene tetangga Negara Indonesia, termasuk Negara yang bersih dari korupsi yang berada pada tingkat ke 7. Berbeda dengan Indonesia yang termasuk salah satu Negara paling korup di dunia.
Awal tahun ini juga ditandai dengan berbagai kriminalisasi Pimpinan KPK untuk melemahkan KPK dalam memberantas korupsi. Padahal, hanya institusi antirasuah ini yang paling getol memberantas korupsi. Melihat kejadian itu, maka makin memperjelas bahwa, Indonesia sampai detik ini belum bebas dari perilaku korupsi.
Salah satu bagian dari Indonesia, yaitu Sulawesi Selatan dan Barat atau biasa disingkat Sulselbar juga tergolong parah. Hal itu berdasar data dari Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi. ACC mencatat ada 144 kasus korupsi. Lebih memperihatinkan lagi karena Kepolisian atau Kejaksaan di Sulselbar yang menangani kasus itu dinilai tidak serius menuntaskannya, sehingga mengakibatkan 144 kasus korupsi mandek atau tidak jelas penanganannya. Modus dari berbagai kasus korupsi itu kebanyakan karena alasan mempertahankan kekuasaan atau ”korupsi politik”. Uang korupsi dijadikan modal kampanye dalam pemilu.
Pemilihan Kepala Daerah serentak yang akan dilaksanakan 9 Desember 2015 mendatang perlu diawasi seketat mungkin. Jangan sampai, momen ini menjadi awal terjadinya “korupsi politik”. Adalah J. Danang Widoyoko, mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), mengutip pendapat Robben Hobbes, mengatakan dalam bukunya, Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia, “korupsi politik” sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin politik dengan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan serta untuk keuntungan pribadi.
Belajar dari kasus korupsi dana bantuan sosial Sulsel tahun 2008, di mana banyak politisi yang terlibat di dalamnya serta menikmatinya. Terungkap pula dalam berbagai sidang bahwa dana bantuan itu justru dijadikan dana kampanye dalam pemilihan umum. Maka, Pilkada serentak ini, tidak boleh lagi dicederai oleh kasus-kasus korupsi seperti itu. Butuh pengawasan yang seketat mungkin.
Pengawasan ketat modal kampanye Pilkada serentak sangatlah penting. Sebab, jika modal kampanye calon pemimpin berasal dari hasil korupsi, dan orang tersebut lolos menjadi Kepala Daerah, maka hampir dapat dipastikan, perilaku korup akan terbawa dan terbiasa dalam pemerintahannya.
Penegakan hukum Indonesia juga harus terus mentransformasi diri. Salah satunya dengan menggunakan cara-cara “hukum progresif”. Cara kerja “hukum progresif” menurut salah satu pemikir hukum, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Faisal dalam bukunya berjudul Pemaknaan hukum Progresif : Upaya Mendalami Pemikiran Satjipto Rahardjo, membicarakan kebenaran mengenai hukum memerlukan pendobrakan terhadap pagar-pagar konvensional yang hanya dapat melihat hukum sebagai hukumnya para profesional semata-mata, sebab itu tidak benar atau tidak seluruhnya benar. Jadi, mendobrakan hukum konvensional adalah sesuatu yang niscaya.
KPK sebenarnya telah melakukan langkah-langkah progresif dalam tindak-tanduknya selama ini. Salah satunya dengan menggabungkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal itu berangkat dari kenyataan bahwa koruptor, banyak menggunakan cara-cara pencucian uang atau mengaburkan asal-usul uangnya agar tidak mudah dilacak penegak hukum. Sehingga, melihat kenyataan itu, maka kedua undang-undang itu digabungkan dalam penuntutannya. Langkah tersebut tergolong baru pada penegakan hukum Indonesia. Dan cara itu bagian dari hukum progresif.
Hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, dalam memutus perkara korupsi di tingkat Mahkamah Agung, juga menggunakan cara-cara progresif. Yaitu memutus berat para pelaku korupsi, dan menambahkan pencabutan hak politik dalam putusannya. Hal itu juga cara baru dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sayangnya, cara kerja hukum progresif yang dilakukan KPK dan Artidjo Alkostar tidak dicontoh apalagi dikembangkan oleh penegak hukum lain. Maka hasilnya, seperti data AC Sulawesi di atas, kasus korupsi kebanyakan mandek. Sebab, penanganannya masih menggunakan cara-cara konvensional.
Terakhir, semua bukti di atas makin mengukuhkan kesimpulan awal bahwa Indonesia belum merdeka dari korupsi. Dan seandainya, Baharuddin Lopa serta Hoegeng Imam Santoso benar-benar masih hidup, maka dapat disimpulkan, mereka tidak akan tinggal diam dalam kenyataan ini.***

Pos terkait