Djufri mengaku menjadi salah satu korban terparah gempa dan likuifaksi di Perumnas Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat Kota Palu.
Kepada Palu Ekspres, Djufri berkeluh kesah. Mencurahkan kesulitan yang ia hadapi saat ini. Entah berapa lama nantinya dia hidup pengungsian. Membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya.
“Kita tidak bisa terus bergantung dari bantuan yang ada,” katanya.
Asa untuk mendapat penangguhan kredit dengan perkiraan waktu bagi dia untuk pulih tidak ia dapatkan. Diapun menyayangkan kebijakan bank plat merah milk daerah itu.
“Harusnya korban yang seperti kita ini mendapat kebijakan khusus. Paling tidak kita diberi pilihan untuk menentukan lamanya waktu penangguhan kredit itu. Apalagi itukan bank milik pemerintah,” sebut Jufri.
Menurutnya perlakuan Bank Sulteng terhadap penangguhan pembayaran kredit bagi korban bencana harusnya bisa sama dengan perbankan konvensional lainnya. Yang setidaknya memberi tenggat waktu penangguhan minimal enam bulan.
“Kalau waktunya panjang, setidaknya kita ada kesempatan untuk mulai merintis usaha sampingan. Bagaimana misalnya kalau sudah lewat tiga bulan, usaha belum jalan. Tentu gaji yang terpotong itu tidak akan cukup untuk kami hidup sehari hari,” keluhnya.
Diapun menyayangkan kebijakan Bank Sulteng yang tidak memverifikasi tingkat keparahan korban bencana untuk penangguhan itu. Karena menyamaratakan pemberian tangguhan. Meski ada pegawai yang tidak secara langsung menjadi korban bencana.
Dia berharap, ada kebijakan khusus dari Gubernur Sulteng dan jajaran komisaris Bank milik pemerintah tersebut.