JAKARTA, PE – Saran Presiden Joko Widodo agar petani kelapa sawit
beralih menanam jengkol dan petai karena anjloknya harga tanda buah
segar (TBS), dinilai pernyataan yang ngawur dan tidak solutif.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa
Sawit Indonesia (APPKSI) Arief Poyuono, menanggapi pernyataan
Presiden Jokowi yang disampaikan saat kunjungan kerja ke Riau,
beberapa hari lalu.
“(Saran) Kang Mas Joko Widodo sangat ngawur terkait solusi jatuhnya
harga TBS sawit. Terutama dalam mencari solusi agar bisa meningkatkan
harga TBS yang sudah turun drastis,” ucap Arief kepada JPNN, Selasa
(18/12/2018).
Dia juga mengkritisi pemerintah, karena saat harga sawit tinggi dan
harga CPO tinggi, rezim ini justru memberlakukan pungutan ekspor yang
nilainya USD 50 dan diberikan kepada para konglomerat sawit yang
memiliki industri biodiesel.
“Gilanya lagi penggunaan dana pungutan usaha perkebunan sawit
disalurkan ke industri biodiesel yang katanya untuk subsidi Biodiesel
B20 menggunakan Keppres yang melanggar UU Perkebunan,” sebut Arief.
Hal tersebut menurut wakil ketua umum DPP Gerindra ini, sama saja
Presiden Jokowi meledek para petani sawit dan pemilik kebun sawit
yang tidak menikmati penggunaan dana pungutan ekspor sawit tersebut.
Arief menambahkan, yang dibutuhkan petani sawit saat ini bukan
menanam jengkol dan petai karena iming-iming harga lebih tinggi.
Sebab, butuh waktu lebih lama untuk komoditas tersebut mulai
pembibitan, penanaman hingga berbuah dan panen.
“Sedangkan sawit itu cuma butuh dua setengah sampai tiga tahun sudah
bisa produksi. Petani dan pengusaha sawit sekarang butuh kebijakan
pemerintah, bagaimana supaya harga TBS bisa kembali ke harga Rp 1.200
per kilogram. Sekarang harganya Rp 300 per kilo kok disuruh tanam
jengkol dan petai,” tegasnya.
Arief menambahkan, anjloknya harga TBS sangat berpengaruh terhadap
perekonomian nasional dan pemasukan negara. Belum lagi ancaman
pemberhentian hubungan kerja (PHK) yang menanti pekerja di sektor
industri sawit.
(fat/jpnn)