PALU EKSPRES, JAKARTA– Meski 2019 diwarnai cuaca cerah dengan menguatnya Rupiah, namun jangan senang dulu. Ekspor dalam negeri diperkirakan masih dibayang-bayangi perlambatan ekonomi Tiongkok.
Hal ini akan berdampak pada neraca transaksi berjalan. Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani menuturkan ekspor Indonesia masih akan bergantung pada Tiongkok.
Ia lantas menyebut dengan ketergantungan itu, maka perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok akan memberi dampak yang lebih besar ketimbang sensitifitas yang dibuat oleh Amerika Serikat.
“Kita ini lebih sensitif perlambatan pertumbuhan ke China dibandingkan ke US. Karena ekspor kita ini banyak melibatkan kepada China,” kata Rosan, di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (7/1/2019).
Lebih jauh lagi, kata Rosan, ekspor akan mendatangkan cuan lebih banyak bagi Indonesia apabila harga komoditas tinggi. Namun sayangnya, kata Rosan, saat ini kondisi harga komoditas sedang lesu. “Dikhawatirkan apabila China perekonomian melemah ekspor kita ke China akan menurun,” ujarnya.
Akan tetapi, bayang-bayang kelam ekonomi Tiongkok tetap punya penawar. Dia bilang amunisi yang akan dikerahkan untuk melawan pengaruh melemahnya ekonomi Tiongkok adalah dorongan investasi serta konsumsi domestik.
“Kalau kita lihatpertumbuhan industri sampai 5,3-5,4 persen yang mana melebih pertumbuhan GDP kita. Karena biasanya pertumbuhan indsutri kita kan selalu dibawah GDP kita,” kata Rosan.
“Dengan itu diharapkan pertumbuhan kita akan jauh lebih baik pada tahun 2019 ini,” sambungnya. Pernyataan Rosan memang ada benarnya, pasalnya Tiongkok adalah negara penyumbang defisit non migas terbesar bagi Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember 2018, ekspor nonmigas November 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu USD 2,01 miliar, disusul Amerika Serikat USD 1,46 miliar dan Jepang USD 1,36 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 35,87 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar USD 1,37 miliar.
Namun begitu, dari sisi impor non migas, pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-November 2018 ditempat oleh Tiongkok dengan nilai USD 40,85 miliar (28,07 persen), Jepang USD 16,61 miliar (11,41 persen), dan Thailand USD 10,09 miliar (6,94 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 20,08 persen, sementara dari Uni Eropa 8,93 persen.