Fatmawati, Menata Hidup dari Tenda hingga Huntara

  • Whatsapp

FATMAWATI (40) tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Wajahnya tampak semringah. Senyumnya terus mengembang. Pandangannya menyapu ruangan berlantai cor kasar. Kepalanya mendongak, melihat kerangka baja ringan di langit-langit yang saling silang.

Pemandangan itu tentu saja berbeda, dengan tempat tinggalnya saat ini di tenda pengungsian di Lapangan Dayodara di depan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Palu. Fatmawati mengaku, di sana ia menempati tenda hasil pembagian dari Badan Pengungsi PBB – UNHCR.

Bacaan Lainnya

Tinggal di tenda yang didirikan di atas tanah tandus seolah melengkapi derita mereka sebagai korban terdampak gempa 28 September tahun lalu. Saat siang hari hawa panas menyengat, memaksa mereka mencari tempat teduh di pinggir lapangan atau rumah- rumah tetangga. Saat malam hari, panas yang berganti udara sejuk tak lantas membuat mereka nyaman. Angin malam yang menyapu debu di atas tanah tandus, membuat pengungsi rawan terserang penyakit pernapasan. Jika hujan deras, rembesan air akan memaksa mereka tidak bisa tidur. Semua perabot menjadi basah. ”Benar-benar pengalaman yang sulit dilupakan,” ungkap Fatmawati terkekeh.

Tidak ada lagi guratan sedih di wajahnya, kala menceritakan pengalaman mereka di tenda di Lapangan Dayodara. Pengalaman hidup yang pahit tak lagi terasa getir. Sebaliknya Fatmawati dan keluarganya menjalaninya dengan ceria.

Ketika namanya masuk dalam daftar calon penghuni hunian sementara (huntara) yang dibangun oleh Rumah Zakat, Fatmawati mengaku tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. Kemarin seusai peresmian, ibu satu anak langsung menuju unit yang pada pintunya sudah tertulis nama suaminya itu. Saat membuka pintu bercat orange, pandangannya langsung tertuju ke sekeliling ruang berukuran 4×6 itu. ”Alhamdulilah,” katanya singkat. Sambil mulutnya terus berkomat kamit, merapal segenap doa syukur atas hunian yang bakal ditempatinya itu.

Kepada Palu Ekspres, Fatmawati mengaku sembari menunggu hunian tetap (huntap) yang akan dibangun, ia mulai menyusun rencana masa depannya secara perlahan. Salah satunya adalah kembali menekuni usaha kuliner yang dijalaninya saat sebelum gempa. Ia membuat kue dan makanan ringan yang dititip di sejumlah kios di sepanjang Jalan Tombolotutu. Sedangkan suaminya menjalankan usahanya sebagai pekerja swasta. ”Dengan ruangan seperti ini, bisa fokus memulai lagi usaha,” tekadnya.

Pos terkait