Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH.,MH*
DEBAT antar-Paslon Capres dan Cawapres adalah salah satu dari beberapa metode kampanye yang ditetapkan dalam UU Pemilu (Pasal 276 ayat (1) huruf h).
Pada Pemilu 2019 kali ini, KPU telah menyelenggarakan debat pertama pada 17 Januari 2019. Debat Paslon kali ini sedikit berbeda dengan debat Paslon pada Pemilu 2009 dan 2014. Kali ini, seminggu sebelum debat berlangsung, KPU telah menyampaikan daftar pertanyaan (kisi-kisi) kepada kedua Paslon. Pertanyaannya adalah: apa esensi dari debat antar-Paslon?
Rocky Gerung pada acara ILC tanggal 8 Januari 2019 mendalilkan bahwa Pemilu selalu ada konflik, dan konflik bagian dari demokrasi. Atas dasar itu, debat adalah fasilitas untuk menguji habis-habisan kemampuan Paslon. Berdiri di podium debat adalah ujian logika, etika, retorika, psikologi bagi setiap Paslon. Semuanya harus bisa dipamerkan oleh Paslon dalam panggung debat.
Bagi Rocky Gerung, panggung debat ibarat ring tinju, di situ kita ingin melihat ada duel yang berdarah-darah dan ada yang terkapar di atas ring (KO) supaya tobat dipermalukan.
Jika (seandainya) debat dipersepsikan seperti itu, maka Pemilu kita adalah Pemilu yang tidak beradab. Sebab, panggung debat tidak menyuguhkan kampanye rasional, melainkan kampanye emosional. Keadaban berdemokrasi harus berakar dari nilai-nilai sosial budaya nusantara. Oleh karena itu, harus dihindari jika debat dijadikan panggung berseteru pendapat dengan emosional hingga mempermalukan Paslon di hadapan publik.
Debat pertama Capres dan Cawapres yang diselenggarakan KPU pada 17 Januari 2019 kemarin tampak seperti kampanye emosional, meskipun tensi emosionalnya tidak sekeras debat antara Trump vs Hillary Clinton pada Pemilu 2016 di AS lalu.
Makna Debat Dalam Konteks Budaya Nusantara
DEBAT dalam budaya lokal (di Sulawesi) dipersepsikan negatif. Debat dalam tradisi Bugis sama dengan mappangewang (beradu mulut atau berbantah-bantahan). Mappangewang berpotensi menimbulkan perseteruan (konflik).
Dalam budaya Mandar, da sibaro atau da sibaro-baro (jangan berdebat) adalah ucapan yang ditujukan kepada anak-anak ketika saling menjatuhkan dalam berbicara hingga tampak urat leher (sibaro). Dalam tradisi orang Palopo yang berbahasa Tae’ di Luwu, sigaga identik dengan debat. Ucapan danggi mu sigaga (jangan berdebat) merupakan prilaku buruk karena berpotensi memunculkan perseteruan. Demikian pula suku Saluan (di Luwuk-Sulteng), boli mahantuda atau boli mahanggaga adalah ucapan untuk mengingatkan orang-orang agar berhenti berdebat (beradu mulut). Hal itu berbeda batanga yang bermakna dialog atau bermusyawarah.