PALU EKSPRES, JAKARTA – Transparency International dalam laporan terbarunya menyatakan, luasnya korupsi berkaitan dengan pengembangan demokrasi. Ranking Indonesia sedikit membaik ke posisi 89 (2018), dari sebelumnya 96 (2017).
Organisasi antikorupsi Transparency International dalam laporan terbarunya yang dirilis hari Selasa (29/1) di Berlin menyebutkan, tingkat perkembangan demokrasi berkaitan dengan tingkat korupsi di suatu negara. Transparency International secara rutin merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari 180 negara.
Dalam laporan terbaru CPI 2018, posisi Indonesia sedikit membaik ke ranking 89, dari sebelumnya 96. Namun Indonesia tetap berada di peringkat bawah, masih di bawah Cina, Serbia dan Bosnia-Herzegovina.
demokrasi, korupsi,
Transparency International dalam laporan terbarunya menyatakan, luasnya korupsi berkaitan dengan pengembangan demokrasi (The Romania Journal)
Dalam laporan CPI 2018 Transparency juga memeriksa kaitan antara perkembangan demokrasi dengan tingkat korupsi di suatu negara. Negara-negara seperti Hongaria dan Turki menjadi lebih korup karena mereka menjadi lebih otokratis. Bahkan di Amerika Serikat korupsi makin buruk, dan AS terlempar dari posisi 20 teratas.
Secara keseluruhan, Denmark dinilai sebagai negara terbersih dan menduduki peringkat satu, diikuti oleh Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiss. Selanjutnya diikuti oleh Norwegia, Belanda, Kanada, Luksemburg yang masuk 10 besar. Jerman berada di peringkat 11.
Somalia berada di peringkat terbawah sebagai negara paling korup. Diikuti oleh Suriah, Sudan Selatan, Yaman, Korea Utara, Sudan, Guinea-Bissau, Guinea Ekuatorial, Afghanistan dan Libya.
Kaitan demokrasi dan korupsi
Dalam analisisnya Transparency memberikan skor bersih korupsi kepada setiap negara dari 1 (terburuk) sampai 100 (terbersih). Transparansi mengatakan, ada kaitan jelas antara korupsi dan kesehatan demokrasi. Dua pertiga dari 200 negara yang dianalisa hanya mendapat skor di bawah 50.
Negara-negara dengan demokrasi yang stabil rata-rata mendapat skor 75, sedangkan negara-negara dengan “demokrasi yang cacat” rata-rata mendapat skor 49. Sedangkan rezim otokratis hanya mendapat skor rata-rata 30. Indonesia mendapat skor 38.