PALU EKSPRES, JAKARTA– Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 semakin dekat. Dalam 60 hari ke depan, Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden hingga anggota dewan yang baru.
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai suasana pesta demokrasi saat ini belum damai karena sejumlah ancaman radikalisme, intoleransi dan terorisme. Dia pun meminta masyarakat mampu mendeteksi ancaman tersebut.
“Harapan kami pemilu ini damai, aman, penuh kegembiraan tanpa ada gerakan yang bisa menggangu pemilu dan menimbulkan keretakan sosial,” ujar Karyono dalam diskusi Pemilu Damai Tanpa Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/2/2019).
Salah satu bentuk ancaman pada Pemilu saat ini adalah politik identitas yang mengedepankan suku, agama, ras dan antar golongan. Bahkan, selama memasuki masa kampanye, ruang publik telah diisi ujaran kebencian dan hoaks.
“Gerakan-gerakan intoleran, gerakan radikalisme, paham khilafah islamiah juga ikut menumpang dalam proses pemilu. Kemudian, kita sering kali melihat masih ada bendera HTI berkibar di dalam proses pemilu 2019 ini. Itu mengkhawatirkan, jangan sampai hal itu mengganggu proses pemilu,” paparnya.
Ketua Progres 98 Faizal Assegaf menyebutkan radikalisme sudah muncul sejak Pilkada DKI pada 2016 lalu, yaitu aksi 212. Mereka mendukung tuntutan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ditunggangi pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Di sana ada perwakilan HTI dan PKS dan lain-lain minta saya rancang aksi jelang pilkada DKI terhadap tuntutan masalah keadilan terkait kasus Pak Ahok,” kata dia.
Kemudian, aksi serupa muncul lagi pada Pemilu 2019 yang ditujukan melawan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, oposisi khawatir kalah dan sengaja menciptakan kekacauan.
“Pemenangnya sudah mutlak Pak Jokowi. Ini pintu masuk peradaban luar biasa. Yang ada bangun solidarisme, menangkan rakyat karena radikalisme bukan saja bakar rumah ibadah ciptakan huru hara kegaduhan,” pungkas Faizal.
(ika/jpc)