Oleh: Muhd Nur Sangadji
BEBERAPA hari ini saya dapat kiriman WA dari para relawan di Palu. Saya juga pernah ditanyai langsung oleh karib saya, Ikbal Setyarso, dedengkotnya ACT (aksi cepat tanggap). Pertanyaannya sama. Dimana lokasi untuk huntara (hunian sementara) untuk korban bancana Palu ?
Saya bilang, di sekitar kampus Universitas Tadulako.
Ada banyak lahan tidur yang bisa dimanfaatkan. Lahan tidur itu perlu dibangunkan agar dia terjaga. Tapi, tidur itu tidak identik tanpa kepemilikan. Namun, meskipun ada pemiliknya, statusnya selama ini terasa kabur.
Nah, inilah saatnya negara perlu bekerja serius. Mandatnya ada pada Pemerintah Daerah. Mereka harus bergerak cepat, mengambil alih atas nama kedaruratan (post major). Secepatnya, karena sangat mendesak.
Bila hampir sekian bulan ini masih ada yang bertanya lokasi huntara. Berarti, mengesankan belum tuntas.
***
Saya lantas bertanya, berapa luasannya dan untuk masyarakat yang mana? Kawan itu menjawab, cukup luas dan untuk masyarakat, khususnya Palu, Sigi dan Donggala. Pada soal ini, saya minta dirinci. Luasannya harus pasti untuk berapa warga?
Dan, dari masyarakat yang mana ? Ini penting untuk banyak alasan sosiologis, budaya dan ekonomi.
Mereka sedapat mungkin tidak terlalu jauh dari hunian parmanen sebelumnya. Agar tidak tercabut dari akar sosiokulturalnya. Efek kecemburuan sosial juga siap menghadang.
Menimbulkan persoalan baru yang tidak perlu. Mumpung masih dalam tahap yang paling awal.
Kelurahan Talise, Tondo, Mamboro hingga Pantoloan dan Wani, masih banyak lahan di kawasan bukit yang tersedia. Bisa didata segera untuk mereka. Kebetulan, kawasan ini juga terpapar tsunami. Khabarnya, lahan tidur di kawasan ini, pemiliknya adalah orang Jakarta. Menguasai ratusan hektar dan membiarkannya tertidur lebih 30 an tahun. Momentum untuk ambil alih.
Kejadian bencana ini juga mendesak kita untuk berhenti memandang enteng berbagai gagasan cerdas (best practice) relevant.
Misalnya, bank tanah. Gagasan begini sudah lama ada. Didorong oleh pegiat pembangunan dari kalangan Perguruan Tinggi atau LSM. tapi, siapa yang menyambutnya di dunia birokrasi..? Sangatlah tergantung pada kebijakan yang lahir dari political Will dan mind set top leader yang cerdas (baca : Walikota, Bupati atau Gubernur).