UU Pemilu tidak hanya menggunakan instrumen hukum pidana untuk memberi jera kepada para Caleg yang melanggar aturan kampanye lewat sanksi pidana penjara dan denda, tetapi juga menggunakan instruman hukum administrasi berupa sanksi: (a) pembatalan nama Caleg dari Daftar Calon Tetap (DPT), atau (b) pembatalan penetapan Caleg sebagai calon terpilih. Pengenaan sanksi pembatalan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 285 UU Pemilu.
Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 285 UU Pemilu, maka Caleg terpidana tidak memiliki lagi kesempatan untuk meraih kursi. Harapan menjadi anggota legislatif sudah pupus karena adanya sanksi administratif. Salah satu Parpol yang dipastikan terkena imbas dari adanya sanksi pembatalan itu adalah Partai Hanura yang mengajukan Caleg DPRD Sulteng pada Dapil V yang meliputi Kabupaten Poso, Tojo Unauna, Morowali, dan Morowali Utara.
Sayang seribu sayang, hari pemungutan suara (voting day) sudah sangat dekat (17 April 2019), foto dan nama Caleg terpidana yang masih tertera pada surat (kertas) suara sudah terlanjur dinyatakan batal. Namun demikian, pada hari pemungutan suara, petugas KPPS pada semua TPS di Dapil V akan mengumumkan adanya sanksi pembatalan itu. Kalaupun ada pemilih yang nekat memilih Caleg terpidana di bilik suara, perolehan suara Caleg terpidana akan dialihkan ke dalam perolehan suara Parpol yang mengusung Caleg terpidana.
Masa kampanye adalah momentum bagi Caleg untuk menebar pesona, pamer jati diri, dan menebar janji-janji kebaikan kepada rakyat. Kampanye untuk meraih simpati pemilih, memang butuh biaya, tenaga, dan waktu. Namun, sayang seribu sayang, semua pengorbanan itu harus pupus karena terjerat kasus pelanggaan aturan kampanye. Ketukan palu hakim di ruang pengadilan, ibarat lonceng kematian yang menandai pupusnya harapan Caleg untuk meraih kursi lewat proses Pemilu.
Kursi di kantor DPR, DPD, DPRD Propvinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bukan kursi biasa yang bisa diperjual-belikan. Kursi di lembaga itu adalah kursi para wakil rakyat yang terhormat. Deretan kursi di lembaga itu dihasilkan dari kontrak sosial di bilik suara lewat proses penyelenggaraan Pemilu. Sirkulasi Pemilu hanya berlangsung sekali dalam lima tahun. Lima tahun ke depan, gerakan moral “tolak politik uang” pasti akan bergema lagi.