PALU EKSPRES, JAKARTA– Penetapan pemenang pemilu baik legislatif dan pilpres yang bertele-tele membuka ruang dan waktu permainan politik.
Pemerhati politik M Rizal Fadillah menguraikan bahwa pemilu berlangsung pada 17 April lalu. Namun baru ditetapkan hasilnya oleh KPU sebulan kemudian, yaitu tanggal 21 Mei. Belum lagi ada sengketa hasil pilpres yang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 Juni.
“Praktis dari pemilu hingga diketahui siapa presiden RI itu 2(dua) bulan lebih kemudian!” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (11/6/2019).
Ruang dan waktu yang terbuka membuat segala macam manuver politik muncul. Mulai dari pendekatan, lobi, hingga tawaran jabatan. Hasilnya, bisa membelokkan dan memindahkan partai koalisi pendukung.
“Tentu kubu Prabowo yang menjadi korban. Petahana lebih kuat lobi dan tawaran politiknya,” terangnya.
Salah satunya dengan sikap Partai Demokrat yang mulai memperlihatkan tanda-tanda loncat. Demokrat, sambung Rizal, memiliki misi untuk menyukseskan karir politik putra Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Partai Demokrat sudah absolut loncat. Gaya ketumnya yang baperan dan punya misi sukses putera mahkota lebih mudah tergoda,” ujarnya.
Sementara PAN mulai goyang. Jika MK memutuskan petahana sebagai pemenang, maka bisa jadi PAN loncat juga. Amien Rais yang konsisten bisa ditinggalkan.
Partai Demokrat yang lebih pragmatis loncatannya tidak menimbulkan goncangan kader. Tapi PAN akan menghadapi kekecewaan para kader.
“Konflik internal menjadi terbuka. Faktor Amien Rais tetap berpengaruh. Loncat ke pangkuan Jokowi berisiko. Jokowi bukan presiden yang disukai rakyat,” tegasnya.
Namun demikian, Demokrat tidak akan mudah diterima koalisi 01. Pendukung berkeringat tidak akan rela melepas jatah atau konsesinya untuk diberikan kepada tamu yang datang di ujung laga.
“Bukan mustahil posisi Partai Demokrat menjadi terayun ambing. Tidak diterima ke sana-ke sini atau dapat satu menteri hiburan,” pungkasnya.
(jpc)