Banjir, Kutukan Ekologis?

  • Whatsapp

Nur Sang Adji. Foto: Dok. PE

Oleh: muhdrezas@yahoo. com/0811454282

Bacaan Lainnya

Hampir semua group WA yang saya ada sebagai anggota, mengabarkan hal yang sama. Berita dan gambar serta video tentang banjir. Semua bicara tentang korban dan upaya tanggap darurat. Ada yang menyoal sebab akibat. Tapi, relatif tidak banyak yang ambil inisiatif bicara agenda aksi. Tentang analisis mendalam berkait tindakan antisipasi kedepan. Padahal, tanpa itu, kita tinggal tunggu giliran saja.

Tentu tidak salah bila saat kejadian kita bertindak darurat untuk atasi situasi (quick response). Sekedar analogi. Bila rumah kita terbakar. Tindakan cepat adalah matikan api. Gunakanlah semua sumberdaya yang ada di sekitar. Lalu, panggillah segera petugas pemadam kebakaran. Namun sesudah itu, yang terpenting adalah membangun iktiar agar rumah kita tidak terbakar lagi. Ini butuh, evaluasi, analisis, komitmen, konsensus dan tidak lanjut dari semua pihak.

Evaluasi dan analisa harus dimulai dengan membaca fenomena alam (ekosentris) dan manusia sebagai aktor (antroposentris). Banjir itu adalah konfergensi dari kejadian langit dan kesigapan bumi. Langit memproses elemen iklim membentuk hujan. Matahari bekerja menggelembungkan uap air (evaporasi dan evapotranspirasi). Langit lantas mengolahnya, mendinginkan (kondensasi) dan turun dalam bentuk butiran air hujan.

Proses yang berlangsung di langit, relatif ada di luar kuasa manusia. Tuhan berkehendak membikin hujan dengan intensitas berat atau ringan. Lama atau cepat. Kejadian di langit ini dipahami sebagai proses sebab akibat dan interaksi klimatologi. Namun, peristiwa klimtologi ini, diatur atau dikendalikan langsung oleh yang maha kuasa berdasarkan alasannya sendiri.

Kabarnya, banjir besar dan air bah yang berlangsung di zaman nabi Nuh, terjadi karena hujan lebat selama tujuh hari, tujuh malam. Padahal, kondisi alam atau tutupan lahan, relatif masih terjaga. Akan tetapi, tidak mampu menyerap limpasan air berlebihan dari hujan dan naiknya air laut.

Ada dua peristiwa emperik di langit berkait iklim yang saya alami. Sangat menarik untuk disimak. Pertama, saat shalat idul fitri di kampung kelahiran ku, Mereku Tidore. Saat itu, langit gelap. Menjelang shalat, awan hitam itu terhalau ke laut. Langit menjadi cerah, terang benderang seketika.

Pos terkait