Oleh, Hasanuddin Atjo
Desa Potoya, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, oleh Bappeda Sulawesi Tengah dijadikan lokasi percontohan “Smart Village”, atau “desa cerdas”. Salah satu program di desa cerdas itu adalah “ Smart Farming” atau kegiatan usaha pertanian, yaitu budidaya ikan Nila yang lebih ditekankan kepada pelibatan masyarakat, yang terukur, terkendali dan nantinya akan diintegrasikan dengan digitalisasi mulai di sektor hulu sampai di hilir.
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara adakah wakil tersisa dari pulau Sulawesi dalam lomba Inovasi Pembangunan daerah tingkat Nasional. Bersama beberapa Provinsi lainnya di Indonesia kini telah memasuki tahap ke 2 untuk dinilai ke tahap berikut. Harapannya, Provinsi Sulawesi Tengah bisa menjadi salah satu terbaik.
Berkaitan dengan itu, Kamis 27 Februari 2020 , “Smart Village” Desa Potoya dengan program “Smart Farming” telah dievaluasi oleh tim penilai independen dan penilai utama Bappenas.
Potoya salah satu desa di Kecamatan Dolo, memiliki potensi di sektor pangan antara lain untuk produksi hortikultura, padi, palawija serta produksi ikan air tawar.
Likuefaksi atau pergeseran tanah akibat gempa bumi beramplitudo 7,4 tanggal 28 September tahun 2018, telah menyebabkan muka air tanah atau water table di wilayah itu turun sampai dengan 12 m dari sebelumnya 2 m, diukur dari atas permukaan tanah.
Ratusan kolam ikan yang diperkirakan seluas 25 ha dan menghidupi lebih dari 100 Kepala Keluarga, baik sebagai pemilik atau penyewa kolam tidak dapat memanfaatkannya untuk wadah budidaya, karena kolam tidak mampu menahan air akibat turunnya water table. Selain itu suply air juga berkurang secara drastis.
Sebelum bencana tanggal 28 September 2018 , setiap bulan dari desa ini dihasilkan ikan air tawar kurang kebih 2- 3 ton untuk dipasarkan di Kabupaten Sigi dan Kota Palu. Setelah bencana, sejumlah usaha kuliner ikan tawar di kota Palu maupun Kabupaten Sigi kekurangan pasokan ikan, sehingga harus didatangkan dari Manado dan Gorontalo.
Smart Farming adalah inovasi budidaya perikanan yang menggunakan kolam beralas tarpaulin (tarpal dilengkapi anti sinar UV), menggunakan sumber air dari sumur dangkal yang ditarik menggunakan pompa air , serta dilengkapi kincir air guna meningkatkan ketersediaan oksigen dalam kolam budidaya , karena padat tebar benih dinaikkan untuk peningkatan produktifutas. Project percontohan ini dibiayai melalui APBD Provinsi Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2019 dan dilanjutkan di tahun 2020
Selanjutnya di tahun 2020 melalui Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah telah dianggarkan aplikasi digital untuk perencanaan dan program “Smart Village”. Dan, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk program “Smart Farming”.
Kalau sebelumnya padat penebaran di kolam contoh hanya sekitar 3000 ekor (luas kolam 400 msq) dan dalam tempo 120 hari hanya menghasilkan 300 kg ikan dengan nilai 13,5 juta rupiah. Melalui inovasi Smart Farming, padat penebaran ditingkatkan menjadi 7000 ekor dengan produksi 2.000 kg dan nilai 90 juta rupiah. Atau terjadi peningkatan 7 kali dari sebelumnya.
Inovasi adalah intervensi terhadap satu aktifitas, satu produk agar memberi nilai tambah lebih besar. Ada empat poin utama dalam sebuah inovasi yaitu Input; Proses; Output dan Outcome. Dalam kasus “Smart Village dan Smart Farming” tahapan input merupakan proses menyusun perencanaan setelah melalui observasi dan koordinasi dengan pendekatan Penta Helix yaitu perlibatan akademisi, pelaku usaha, masyarakat, pemerintah dan media.
Proses, merupakan tahapan pelaksanaan budidaya dengan menerapkan SOP sebagai Smart Village dan Smart Farming yang disesuaikan dengan penguasaan inovasi digitalisasi. Output adalah peningkatan metodologi yang dimulai perencanaan hingga pascapanen dan pemasaran. Sedangkan outcome berkaitan dengan perubahan mindset, peningkatan produktifitas, nilai tambah, daya tarik investasi sampai kepada kemandirian desa.
Secara Nasional (2015-2020), sekitar 320 triliun rupiah dana desa telah digelontorkan. Dan secara provinsial, Sulawesi Tengah kurang lebih 6 triliun rupiah. Potensi sumberdaya desa baik alam, manusia dan kapital yang begitu besar seyogianya dirancang, didesain dan dimanfaatkan untuk kemajuan maupun kesejahteraan desa. Kemajuan desa akan berdampak simultan kepada kemajuan daerah yang ujungnya kepada kemajuan Negara.
Percontohan Smart Village dan Smart Farming diharapkan menjadi role model atau lokus pembelajaran bagi desa-desa lainnya, utamanya terkait dengan pemanfaatan dana desa dan dana dari sumber lain yang telah digelontorkan untuk kemajuan desa.
Kebenaran bagi masyarakat desa masih terletak di matanya, belum dipikirannya sehingga harus ada role model atau contoh yang dapat diperlihatkan. Peran kepala wilayah yang dimulai dari Gubernur, Bupati, camat dan Kepala Desa bersama perangkatnya menjadi kunci sukses untuk melahirkan sejumlah “Smart Village” dan programnya. SEMOGA.