Oleh Nurkhairi (Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Kabupaten Buol)
TIDAK mudah untuk menjadi hamba Allah yang tekun beribadah. Dibutuhkan kesungguhan dan perjuangan panjang tanpa lelah. Namun, lebih tidak mudah lagi untuk menjadi orang yang tetap istiqamah dan rendah hati disaat dirinya semakin tekun beribadah.
Dahulu, ada seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Abu Dzar al-Ghifari ra. Selain ahli ibadah, di kalangan para sahabat, ia dikenal memiliki prestasi mengagumkan dalam fase perjuangan sejarah awal da’wah Islam.
Tetapi pengorbanannya saat berjuang bersama Rasulullah, belum dirasa cukup. Ia kerap menyadari dirinya lemah dan banyak kekurangan dalam beribadah. Bahkan tidak segan mengakui kelemahannya kepada orang lain.
Suatu ketika, Abu Dzar datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku ternyata lemah dalam melakukan amal-amalku?”
Tak berselang lama, Abu Dzar menerima pesan singkat dari Rasulullah. “Jagalah orang lain dari keburukan mu, itu saja sudah merupakan shadaqah darimu untuk dirimu sendiri.” (HR. Muslim).
Setiap muslim diperintahkan untuk senantiasa meningkatkan amal shaleh dalam hidupnya. Tak perlu ia membanding-bandingkan kelebihan amal-amalnya dengan amal orang lain. Karena hal tersebut hanya akan menjerumuskan dirinya menjadi ujub dan sombong.
Syaikh Muh. Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama yang amat tawadhu’ pernah menasehati agar jangan sampai kita cenderung memandang ibadah kita lebih baik dari orang lain. Sebab hal itu adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia akan membakar hangus sikap-sikap tawadlu dalam diri. Disamping menjadi sumber terbesar bagi lahirnya sikap saling dengki sehingga merusak silaturahmi.
Konon Nabiyullah Isa AS pernah berkata, “Berapa banyak lentera yang cahayanya mati tertiup angin. Berapa banyak ibadah yang pahalanya rusak oleh kesombongan. Amal sholeh ibarat cahaya, dan cahaya itu bisa padam oleh angin ujub dan kesombongan.”
Allah SWT mengingatkan, “Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”.’ (QS. Al-Kahfi: 103-104).’