Muhasabah di Penghujung Ramadhan

  • Whatsapp
Kakanwil Kemenag Sulteng H. Rusman Langke. Foto: Humas Kemenag

Oleh H. Rusman Langke (Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sulteng)

TANPA terasa, Ramadhan akan segera berlalu. Selama bulan mulia itu, setiap orang merasa telah banyak menanam kebaikan. Hasil dari upaya mengumpulkan pahala ibadah dan amaliah Ramadhan sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ibadah dan amal saleh, yang ketika Ramadhan terasa begitu ringan dijalankan, dapat dipertahankan, bahkan diperkuat dan ditajamkan pada bulan-bulan pasca-Ramadhan.
Inilah pertanyaan superpenting agar predikat takwa tak semata melekat pada saat Ramadhan, tetapi sepanjang tahun hingga bertemu kembali dengan Ramadhan pada tahun berikutnya, bahkan sampai bertemu dengan Ilahi Rabbi.
Pesan Allah SWT dalam surah al-Hujurat 13 amat jelas. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dengan kata lain, esensi, target, atau pun capaian penting yang mesti dijaga setelah diraih dengan perjuangan dan keikhlasan di bulan Ramadhan adalah ketakwaan itu sendiri. Al Quran memberikan banyak penjelasan konkret perihal bagaimana perilaku orang bertakwa dalam kehidupannya. Di antaranya seperti terurai dalam surah al-Baqarah ayat 177. Seperti memiliki keimanan kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi. Kemudian memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat, anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang telantar di dalam perjalanan, para peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya. Serta yang paling utama yakni mendirikan salat, membayar zakat, menepati janji bila berjanji, dan sabar atas kemiskinan. Itulah antara lain sifat-sifat orang bertakwa.
Semua amalan itu tentu saja tidak boleh terhenti di dalam Ramadhan semata, tetapi harus diupayakan untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Memang, secara kalkulasi pahala, amalan saat Ramadhan jauh lebih berlipat ganda balasannya dibanding bulan lain. Namun, semangat untuk menjaga karakteristik takwa di dalam diri, seharusnya diupayakan berlaku sepanjang tahun dan sepanjang hayat.
Sungguh disayangkan, fenomena yang terjadi di masyarakat, masih jauh dari harapan. Begitu Ramadhan pergi, nuansa religius secara sosial berangsur redup, kemudian lenyap. Shalat berjamaah sulit dijumpai lagi. Al Quran kembali berdebu karena lama tak pernah disentuh. Semua kembali sibuk dengan medsos. Di sini orang banyak yang lupa dengan kebaikan dirinya pada Ramadhan.
Setelah Ramadhan, ibadah perlahan kendur. Godaan untuk melanggar perintah-Nya kian menguat. Sehingga jika Ramadhan ibadah kuat, di luar Ramadhan komitmen keberislamannya pun melorot. Di sini, takwa mendapatkan ujian tidak ringan.
Jika ditelusuri, mengapa Rasulullah, sahabat, dan para ulama terdahulu menangis kala akan berpisah dengan Ramadhan, tidak lain adalah karena menjaga takwa pada bulan selain Ramadhan adalah benar-benar tidak mudah.
Menarik disimak penggalan dialog antara Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Ubay bertanya tentang makna takwa kepada Umar. Namun khalifah kedua ini malah balik bertanya, “pernahkah engkau berjalan di tempat yang penuh duri?” Ubay bin Ka’ab menjawab, Ya, pernah. “Apakah yang engkau lakukan?” tanya Umar kembali. “Tentu aku sangat berhati-hati melewatinya” jawab Ubay bin Ka’ab. Itulah yang dinamakan takwa, ujar Umar.
Mumpung puasa belum berakhir, jangan sia-siakan kesempatan untuk berburu amal di hari-hari yang masih tersisa. Setiap muslim bila perlu mengandaikan bahwa ibadah puasa tahun ini adalah puasa terakhir baginya. Sehingga harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Jangan justru sebaliknya. Wallahu álam.*

Pos terkait