Dalam perjalanan pulang, dia berpapasan dengan teman sesama alumni dari pesantren Kiyainya tersebut. Sang temanpun bertanya kepadanya: “Engkau dari mana dan mengapa membawa seekor kambing?”. Dengan penuh semangat kegembiraan diapun menjelaskan kronologinya. Sang teman mendengarkannya dengan seksama sambil diam-diam berfikir dengan rumus kalkulasi bisnis. Dalam hatinya berkata: “Datang membawa ubi kayu, pulangnya dihadiahi seekor kambing. Bagaimana kalau saya membawa seekor kambing, tentu ketika pulang akan mendapatkan hadiah yang lebih besar.”
Setelah berpisah, sang teman ini pun bergegas pulang. Diambilnya seekor kambing jantan milik bapaknya untuk dihadiahkan kepada sang Kiyai saat bersilaturahmi nanti. Setelah mewujudkan niatnya berjumpa dengan sang Kiyai, sesaat kemudian diapun berpamitan. Sembari menjabat erat tangan sang Kiyai, pikirannya membayangkan hadiah besar yang bakal didapatkan.
Akan tetapi di luar dugaan, kenyataanya apa yang dia dapatkan jauh panggang dari yang dibayangkan. Bukan hadiah besar yang dia dapatkan. Melainkan sesungguhnya adalah pembelajaran besar yang harus dia renungkan. Ternyata sang Kiyai menghadiahinya dengan beberaa potong ubi kayu. Kemungkinan ubi kayu tersebut, mulanya adalah pemberian teman santri sealumni yang sudah lebih dahulu sowan kepada sang Kiyai.
Sepanjang perjalanan pulang, dia menggerutu tiada henti karena tidak dapat menerima kenyataan yang didapati. Rasionya tidak mampu menganalisa, bagaimana bisa terjadi temannya bersilaturrahmi menjumpai Kiyai hanya dengan membawa beberapa potong ubi kayu. Namun saat pulang dihadiahi dengan seekor kambing jantan yang besar. Sementara dirinya yang datang dengan membawa seekor kambing jantan besar, namun saat pulang justru hanya dihadiahi dengan beberapa potong ubi kayu.
Bisa jadi orang tidak tahu bagaimana niat atau keikhlasan hati kita saat memberikan sesuatu atau melakukan amal kebajikan. Tapi bukankah Allah Maha Tahu segalanya? Dan yang pasti tidak sulit bagi Allah untuk menggerakkan hati orang lain guna membalas yang kita lakukan sesuai dengan kadar keikhlasan yang kita niatkan.
Oleh karena itu marilah kita lebih berhati-hati menjaga niat atau keikhlasan di hati saat melakukan amal kebajikan. Kata-kata yang terucap melalui lisan saat melakukan amal kebajikan tidak selamanya mewakili sepenuhnya keikhlasan yang ada di hati. Niat atau keikhlasan yang ada di dalam hati memang tidak diketahui oleh sesama. Namun, tidak dapat kita sembunyikan dari Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.