Sejarah ‘mudik’ sebenarnya banyak mengundang pertentangan. Namun mudik berdasarkan terminologi pada dasarnya merujuk pada perjalanan pulang, menuju kampung halaman. Saat mudik, para perantau pulang kampung dengan berbagai aktifitas setelah di kampung halaman, ada yang membersihkan pusara leluhurnya, ada pula yang mendoakan arwah mereka dengan membaca Alquran, zikir, serta tahlil, disusul kemudian prosesi tabur bunga.
Biasanya para pemudik jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri mulai menyiapkan jalur perjalanan, mempersiapkan kendaraan bagi yang memiliki kendaraan untuk pulang kampung, atau telah memesan tiket walaupun bulan ramadhan belum tiba, dengan harapan bisa pulang dan tidak kesulitan mendapatkan tiket. Pemudik rela terjebak dalam kemacetan lalu lintas, antrian yang panjangnya berkilo-kilo meter dan bahkan memakan waktu yang lama, namun bagi pemudik hal itu membawa kesan tersendiri.
Namun di balik keceriaan kita pulang ke kampung halaman atau mudik bertemu dengan sanak keluarga, kita harus bertanya pada diri sendiri “sudahkah” kita membuat persiapan untuk kepulangan ke kampung “Akhirat” sebagaimana persiapan kita mudik pulang ke kampung halaman di saat mudik lebaran? Padahal kepulangan ke kampung “Akhirat” mestinya justru lebih membutuhkan persiapan dan bekal yang lebih dari cukup (yakni persiapan iman dan amal saleh) karena kita tidak akan pernah kembali ke alam dunia lagi, tidak seperti halnya pulang ke kampung halaman yang sifatnya sementara. Wallahul ‘A’alm………