Logika Puasa

  • Whatsapp
Haerolah Moh. Arief. Foto: Istimewa

Oleh H. Haerolah Muh. Arief (Kepala KUA Kecamatan Palu Barat)

Beberapa hari ke depan ibadah puasa tahun ini akan berakhir. Ada pertanyaan mendasar: apakah ibadah puasa yang dilakukan benar-benar telah mengantar pelakunya dalam meningkatkan kualitas kemanusiaannya? Ataukah ibadah Ramadhan itu hanya sebagai rutinitas tahunan yang selalu terulang setiap dua belas bulan, namun tidak memberikan dampak apa apa? Nabi Saw. menyatakan: “Batapa banyak yang berpuasa, namun dia tidak memperoleh dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga. (HR. al-Thabrany)
Realitasnya, setiap memasuki bulan Ramadhan bahkan sampai datangnya Idul Fitri, harga barang-barang makanan (sembako) bergerak naik. Tentu saja, kondisi ini bertolak belakang dengan logika puasa. Seharusnya dengan diamalkannya ibadah puasa, kebutuhan semakin menurun, karena di siang hari orang tidak makan dan tidak minum. Sehingga harga barang tidak perlu naik. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Maka wajar jika ada yang bertanya: ada apa dibalik puasa yang dilakukan itu?
Setidaknya ada dua prediksi jawaban dari pertanyaan di atas. Pertama, orang melakukan “balas dendam” atas puasa yang dilakukan pada siang hari dengan menyantap makanan secara berlebihan pada malam hari. Kedua, uang yang terkumpul dalam setahun sebelumnya sengaja dihabiskan untuk membeli berbagai kebutuhan dan “keinginan-keinginan” yang disukai tanpa memperhatikan kebutuhan prioritas.
Hal ini ditandai dengan ramainya pusat perbelanjaan, saking membludaknya para pembeli, bermunculan tempat-tempat belanja baru di wilayah strategis. Istilah orang Palu “Pasar Lentora” dan “Pasar Senggol” kalau di Poso. Jujur saya pun dan mungkin juga Anda pernah merasakan sensasinya. Kalaupun tipe pasar yang selalu dinanti itu, kemungkinan ditiadakan tahun ini karena suasana pandemi Covid-19, namun konsumen dan pelaku pasar tidak kehilangan cara, keramaian itu mereka pindah ke pasar digital (belanja online).
Jika kedua prediksi tersebut benar-benar terjadi, maka yang diperoleh dari ibadah puasa itu hanya sebatas kenikmatan fisik, seperti makanan lezat, pakaian baru dengan model yang paling mutakhir, perabotan rumah berganti dengan desain terbaru. Puasanya tidak menggenjot kualitas kepribadiannya. Sedangkan tujuan dasar dari ibadah puasa dan ibadah ramadhan lainnya adalah menjadi orang yang taqwa, yakni manusia terbaik yang senantiasa merasakan kehadiran Tuhan dalam kesehariannya. Puasa mengantarkannya kepada kenikmatan ruhani.
Muncul pertanyaan berikutnya, kenapa hasilnya bisa berbeda? Padahal pelaksanaan puasanya sama-sama menahan lapar dan dahaga? Tentunya perbedaan bukan pada pelaksanaannya, tetapi terminal star mereka yang tidak sama. Satu berangkat dari formalitas ajaran agama, keberagamaan yang dipoles, sebatas penampilan dan memenuhi kewajiban. Al-Qur’an menyatakan model seperti ini pada ayat (terjemahnya) “Katakanlah [Muhammad], apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang-orang yang usaha mereka sia-sia dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat yang terbaik.” (Q.S. Al-Kahf: 10).
Sementara yang kedua berangkat dari keimanan dan keikhlasan (imaanan wahtisaaban). Mereka inilah yang akan meraih predikat Muttaqiin yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai kemenangan terbesar. “Sesungguhnya bagi orang-orang yang taqwa itu kemenangan” (Q.S. An-Naba’ : 31). Wallahu a’lam. Minal ‘a’idin wal-faaiziin.

Pos terkait