(Refleksi hari lahir Pancasila)
Oleh Kasman Jaya Saad (Dosen Unisa Palu)
Di tengah pandemi Covid-19, kembali negeri ini merayakan hari lahir Pancasila, 1 Juni 2020. Sebagai dasar negara, Pancasila harusnya diposisikan sebagai sumber utama bagi para pemimpin pemerintahan dalam pengelolaan negara. Dan sebagai falsafah bangsa, Pancasila sejatinya harus mampu menjadi ruh dan jiwa bagi setiap perilaku pribadi-pribadi anak bangsa. Jadi tidak sekadar perayaan formalitas an sich dan hanya berhenti dalam lingkaran politik praktis dan kekuasaan. Nilai-nilai Pancasila harus dibumikan, meminjam tema hari lahir Pancasila kali ini adalah Pancasila dalam tindakan.
Namun terpaparnya bangsa ini dengan perilaku koruptif para elit dan gersangnya kepedulian anak negeri ini, ditandai dengan makin kuatnya polarisasi dan penyalagunaan kewenangan di tengah masyarakat, menunjukkan bahwa kemuliaan nilai-nilai Pancasila masih sebatas retorika, ‘belum’ dalam tindakan. Masih ada jarak antara harapan dengan kenyataan, antara Das sollen atau kaidah atau norma dalam nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dilakukan dan Das sein atau kenyataan yang dalam tindakan. Di tengah pandemi Covid-19 penyalagunaan bantuan sosial masih ‘banyak’ terjadi, dan menggerus kepercayaan masyarakat. Tak ada ketegasan dari pemerintah, masyarakat menjadi apatis, enggan saling membantu. Tiap-tiap dari mereka merasa paling membutuhkan dan orang lain, itu menjadi urusannya, tidak ada niat baik untuk sesekali berkorban bahwa ada yang lain juga membutuhkan. Begitu juga sebaliknya. Persaudaraan makin memudar, egoisme makin mengemuka.
Dan semangat nilai ketuhanan yang seharusnya menjadi sandaran transenden, tak memiliki makna apa-apa, miskin dalam tindakan. Para elit negeri sudah tidak segan mengkhianati negeri dan sesamanya. Sumpah jabatan sebagai wujud permaknaannya, disalahgunakan, hanya dijadikan formalitas an sich, karena ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah begitu merajalela.
Pada rana kemanusiaan, yang mestinya mewujudkan kesamaan, kederajatan dan persaudaraan manusia, gotong royong tergilas oleh perilaku pragmatis dan hedonistis para elitnya, sehingga tak lagi memiliki kepeduliaan akan derita rakyat yang tetap kelam dan tak menikmati manisnya makna kemerdekaan yang dijanjikan, adil dan makmur. Dalam bahasan yang lugas Yudi Latif (Revolusi Pancasila,2015) menyebut, ditemukan di negeri ini adalah jalan bercabang dua yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup bergelimpangan, sama dapat, sama bahagia, sedang jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurungan, sama ratap, sama sengsara. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi, tetapi nasib rakyat tetap sama, kekal menderita.