Oleh Kasman Jaya Saad
Ecosophy bukan tentang judul lagu atau tentang nama gadis tetangga sebelah rumah, namun tentang etika dalam merawat alam dan bumi yang lebih bersahabat. Di tengah pandemi covid-19 ini, kita memang diingatkan untuk lebih banyak bermuhasabah, melakukan introspeksi diri, akan perilaku kita terhadap alam, perilaku yang eksesif dan tidak ekologis. Pertumbuhan ekonomi menjadi segala-galanya sebagai indikator kemajuan, bukan sebagai salah satu aspek dari keseluruhan kehidupan yang begitu kaya, dan abai terhadap indikator kerusakan alam dan lingkungan hidup adalah kesalahan fatal yang mereduksi kehidupan manusia semata sebatas makna ekonomi. Itu sebab kita mengalami berbagai krisis lingkungan hidup hingga kini, tak berkesudahan. Kita selalu membiarkan alam merampas haknya dengan caranya sendiri, begitu analogi saya tentang krisis lingkungan hidup yang kita alami.
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi webinar yang secara rutin saya ikuti, dilaksanakan oleh Lembaga PLH dan SDA MUI Indonesia lewat program Ecomesjidnya. Webinar yang secara rutin itu menghadirkan tokoh-tokoh pemerhati lingkungan hidup. Salah satunya adalah dosen senior ilmu kehutanan IPB Prof.Dr.Hadi S.Alikodra. Materi yang dibawakan adalah pendekatan ecosophy untuk penyelamatan bumi.
Adalah Arne Naess (1989), seorang filsuf Norwegia yang memperkenalkan tentang istilah ecosophy ini. Eco yang berarti rumah tangga dan sophy berarti kearifan, berarti ecosophy adalah kearifan hidup selaras dengan alam sebagai rumah tangga dalam arti luas, kearifan bagi manusia untuk hidup dalam keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta sebagai sebuah rumah tangga. Jadi ecosophy adalah etika dan moral konservasi yang mengarahkan perilaku manusia mencintai alam, menghargai dan mencintai sesama makhluk sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Berbeda dengan etika antroposentrisme yang banyak dipahami sekarang ini, yang meletakkan manusia sebagai penguasa alam ini, sehingga atas dasar demi pemenuhan kebutuhannya, manusia bisa berbuat apa saja terhadap alam. Cara pandang demikian melahirkan sikap dan perilaku yang eksploitatif, dan tanpa ampun merusak alam, karena alam dan makhluk lainnya dianggap tak mempunyai nilai pada diri sendiri.
Ecosophy sebagai sebuah gerakan, tidak semata berisi norma yang melihat alam semesta dan segala isinya bernilai pada dirinya sendiri, namun juga sebagai gaya hidup yang menekankan pada kehidupan yang sederhana tapi kaya makna dan bahagia. Gaya hidup yang menekankan pada kualitas kehidupan dan bukan semata pada standar kehidupan apalagi standar material. Dan ecosophy tidak semata mengatasi persoalan lingkungan secara teknis an sich, seperti dipahami etika antroposentrisme, namun diperlukan perubahan mendasar pada paradigma manusia tentang lingkungan dan perubahan sistem ekonomi, yang selama ini hanya mengejar aspek pertumbuhan, bila banyak sumber daya ekonomi yang dieksploitasi, akan semakin baik namun abai terhadap seberapa besar pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Itu sebab ecosophy melihat akar persoalan lingkungan hidup dalam suatu presfektif relasional yang lebih komprehensif dan holistik, karena aspek sosial dan manusia yang ada di dalamnya menjadi penting. Bagi Naess krisis lingkungan hidup sesungguhnya disebabkan faktor yang lebih fundamental, suatu sebab filosofis, dan oleh Prof.Alikodra krisis lingkungan disebutnya sebagai krisis moral dan krisis kehidupan. Faktor fundamental itu adalah kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia dalam alam. Olehnya diperlukan pembenahan menyangkut cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lainnya dalam satu kesatuan ekosistem.
Penekanan etika ecosophy demikian itu, tentang perubahan pola dan gaya hidup, bagaimana manusia itu memuliakan, menghargai keseimbangan, damai dan cinta terhadap alam semesta. Manusia juga harus menghargai kearifan lokal, hilangkan sifat egois, konsumtif dan serakah. Perubahan gaya hidup ini sebenarnya bukan hal yang baru, hanya perlu penyadaran kembali, untuk mengembangkan kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan dan saling ketergantungan antar manusia, tumbuhan dan hewan di alam semesta ini. Kendati bukan hal yang baru, namun diperlukan tetap perubahan yang radikal dan diikuti perubahan mental, sikap, perilaku dan gaya hidup, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dalam masyarakat.
Perubahan itu memang tidaklah mudah, ditengah kepungan mentalitas konsumtif dan materialisme, serta ideologi developmentalisme yang begitu kuat. Butuh waktu yang lama dan energi yang besar, namun kita tidak boleh menyerah, diperlukan kepedulian dan gerakan bersama, terlebih perubahan politik dalam bentuk komitmen dan kebijakan berikut implementasinya. Ecosophy sebagai gerakan alternatif penyelamatan lingkungan hidup adalah pilihan yang menarik. Dan momentumnya sekarang. Bukan besok apalagi lusa, karena dimulai dari diri sendiri untuk mengubah pola dan gaya hidup untuk menjadikan alam (bumi) ini sebagai tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.