Implementasi “Lending Model” Pembiayaan Vaname di Sulteng

  • Whatsapp
Hasanuddin Atjo bersama beberapa investor meninjau rencana pembuatan tambak supra intensiv vaname. Foto: istimewa

Oleh Hasanuddin Atjo, Tenaga Ahli Menko Marvest

Perjalanan Palu tujuan Jogyakarta di Minggu pagi 25 Oktober 2020, terpaksa menggunakan jalur yang cukup panjang Palu-Makassar-Jakarta dilanjutkan dengan kereta api selama 7 jam, akibat berubahnya rute penerbangan terkait kebijakan pandemi Covid-19.

Bacaan Lainnya

Dalam perjalanan Palu-Jakarta sengaja menulis artikel bagaimana “lending model”pembiayaan usaha tambak udang vaname di Sulteng. Merupakan salah satu rekomendasi seminar pemulihan ekonomi karena dampak Covid-19 yang difasilitasi bank Sulteng , tanggal 22 Oktober 2020, di hotel Best Westerm Palu. Lending Model pembiayaan dalam artikel ini dimaksud lebih kepada memberi jaminan teknologi kepada lembaga keuangan agar tidak ragu lagi membiayai sektor usaha yang selama ini dipandang “high risk”. Seperti usaha budidaya vaname yang kini lagi marak dikembangkan termasuk di Sulteng, terutama oleh investor dari luar Sulteng.

Lending model pembiyaaan dalam konteks ini mengubah usaha yang “high risk” menjadi usaha yang “high risk tetapi high calculate”. Maknanya meskipun usaha tambak udang dinilai beresiko tinggi, namun resiko tersebut mampu diprediksi, dikalkulasi serta dikendalikan. Dan akhirnya menjadi usaha memiliki profit tinggi dan menguntungkan serta berkelanjutan. Mewujudkan gagasan ini antara lain harus ada jaminan inovasi dan teknologi dari sebuah lembaga penjamin teknologi profesional. Tujuannya agar lembaga keuangan bisa berkurang keraguannya untuk membiayai sektor usaha seperti ini. Hal yang menarik dari lembaga penjamin itu adalah, akan ikut serta berinvestasi dan bergabung dalam debitur konsorsium peminjam. Jumlah anggota konsorsium antara 5 atau 7 orang dengan persentase saham yang sama. Point penting yang diharapkan dari model ini bahwa setidaknya pada tiga tahun setelah project berlangsung, ada anggota konsorsium yang tertarik membesarkan diri dan membangun bisnis baru di luar konsorsium. Dan ini sesungguhnya menjadi salah tujuan model ini, melahirkan pelaku pelaku usaha baru.

Membangun sebuah pilot project konsorsium dibutuhkan investasi 6 miliar rupiah, modal kerja sekitar 2 miliar dan total 8 milyar rupiah. Dengan lahan 5 ha, setidaknya dalam setahun (dua musim tanam) diperoleh produksi udang minimal 60 ton dan marjin 2,3 miliar rupiah. Dengan kata lain break even point atau BEP dari bisnis ini 2,5 tahun atau 5 kali panen. Ini merupakan skenario minimal, karena produksi udang dapat mencapai 80 ton per tahun. Selain itu, percontohan lending model pembiayaan seperti ini juga diharapkan berdampak terhadap adanya (1) Motivasi dari para ahli/pakar untuk membentuk lembaga penjamin teknologi, termasuk di perguruan tinggi; (2) Mendorong lembaga keuangan lainnya untuk tidak ragu membiayai usaha yang berorientasi ekspor dan mempunyai efek domino yang besar; dan (3) meningkatkan arus perputaran uang dan penumpukan modal di masyarakat. Merealisasikan rencana itu, di hari Sabtu, 24 Oktober 2020, Saya bersama pimpinan bank Sulteng Rahmat Haris dan jajarannya, serta calon investor yang akan tergabung dalam konsorsium, melaksanakan survey lapangan. Dan dari dua lokasi yang dilihat belum ada yang memenuhi syarat, sehingga harus diulang lagi. Untuk mengurangi rasa kecewa, maka saya memberi komentar bahwa salah satu kritikal point utama dalam bisnis ini adalah memilih lokasi yang sesuai. Salah memilih lokasi, maka handicap atau hambatan kesuksesan semakin besar. Selain itu kita juga harus belajar langsung dilapangan agar lebih cepat paham bila nanti ingin mandiri.Agar calon investor lokal lebih yakin akan prospek bisnis ini,maka udang secara nasional menjadi salah satu prioritas dan termuat dalam RPJMN 2019-2024. Target peningkatan produksi dan devisa di lima tahun ke depan sebesar 250 persen dari 500 ribu ton menjadi 1.290 ribu ton di akhir 2024. Selanjutnya devisa dari 1,8 milyar dolar AS meningkat menjadi sekitar 4 milyar dolar AS. Dan dunia diprediksi kekurangan suply komoditi ini sebesar 2 juta ton dari kebutuhan 6 juta ton.Sulawesi Tengah diprediksi akan menjadi salah satu sentra produksi udang nasional, karena memiliki sejumlah keunggulan komparatif antara lain; potensi areal budidaya yang terbatas sekitar 60.000 ha, dari panjang garis pantai 4.013 km. Bandingkan dengan Sulsel yang panjang garis pantainya sepertiga dari Sulteng namun potensi areal 120.000 ha. Selain itu, Sulawesi Tengah memiliki empat kawasan budidaya yaitu selat Makassar, teluk Tomini, teluk Tolo, dan laut Sulawesi. Kinerja produksi udang Sulteng di lima tahun terakhir menunjukkan trend peningkatan yang signifikan Di tahun 2015 berada di sekitar 5.000 ton dan pada tahun 2019, meningkat menjadi 17.000 ton. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh adanya sejumlah investor dari luar Sulteng yang berinvestasi di daerah ini. Tentunya ini menjadi tantangan bagi Pemda, lembaga keuangan dan investor lokal. Berdasarkan kalkulasi bila 5 tahun ke depan di Sulteng ada tambahan areal budidaya dengan teknologi intensif seluas 1.000 ha, dengan produktifitas 40 ton/ha/tahun maka di akhir tahun 2025 Sulteng akan ketambahan produksi udang sekitar 40.000 ton, sehingga total produksi Sulteng mendekati 60.000 ton. Investasi serta modal kerja yang dibutuhkan untuk mencetak dan mengoperasional tambak intensif seluas 1.000 ha sekitar 1,75 triliun rupiah. Dan ini bisa memberikan nilai tambah per tahun sebesar 1,25 triliun rupiah. Kita berharap bahwa paling tidak separuh dari investasi itu akan berasal dari investor lokal Sulteng agar nilai tambah berada di daerah ini.Inilah yang menjadi latar belakang mengapa dibutuhkan contoh “Lending Model Pembiayaan” pengembangan industri vaname di Sulawesi Tengah yang diprakarsai bank Sulteng melalui seminar. Dan diharapkan model ini bisa menjadi pintu masuk bagi program di sektor pangan lainnya, serta menjadi motivasi bagi lembaga keuangan lainnya dengan mengubah kesan dari “ High Risk ke High Calculate” SEMOGA.

Pos terkait