Aktivitas pertambangan emas tanpa izin di Desa Sijoli, Kecamatan Moutong, Kabupaten Parigi Moutong. Foto: Istimewa
PALU EKSPRES, PALU– Penertiban yang dilakukan oleh jajaran Kepolisian Resort (Polres) Parigi Moutong (Parimo) atas operasionalisasi pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Desa Sijoli, Kecamatan Moutong, Kabupaten Parigi Moutong, sangat diapresiasi oleh Komnas HAM Perwakilan Sulteng.
“Di satu sisi sungguh sesuatu yang patut diapresiasi oleh semua pihak. Namun disisi lain, sesungguhnya membuat miris dan prihatin atas apa yang telah dilakukan oleh Polres Parimo,” kata Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedy Askari menyikapi pemberitaan yang dilansir Palu Ekspres.com, Kamis (28/1/2021).
Menurut Dedy, lokasi pengelolaan PETI yang begitu jauh dengan menempuh jarak ratusan kilometer dengan menghabiskan waktu kurang lebih 6-7 jam perjalanan, seketika ditertibkan, Kamis (28/1/2021). Sementara lokasi pengelolaan PETI yang hanya di ujung hidung, seperti di Desa Kayuboko, Salubanga, serta Buranga, tetap dibiarkan.
“Ini sesuatu hal yang mengherankan dan sangat memprihatinkan,” kata Dedy.
Tindakan ini menurut Dedy, nyata merupakan praktik penertiban yang tebang pilih dan tindakan yang parsial atau memihak.
“Saya kira ini satu kekeliruan besar, jelas ini sangat jauh dari semangat institusi Kepolisian yang promoteur, apalagi semangat presisi sebagaimana konsep yang hendak diterapkan dalam penataan institusi Kepolisian serta seluruh jajaran anggota kepolisian yang ada di republik ini, termasuk Polres Parigi Moutong,” ujarnya.
Ia menegaskan, perusahaan yang memiliki izin operasi saja tetap ada kerusakan dan pencemaran yang terjadi jika tidak diawasi secara ketat. Termasuk terhadap resiko kecelakaan kerja dan kematian. Sebab, kecelakaan akibat kelalaian perusahaan saja atau menyebabkan tenaga kerja meninggal, dalam instrumen hukum terkait pengelolan pertambangan, pihak perusahaan atau pemilik usaha diancam dengan tindak pidana.
“Hemat kami,tidak ada alasan atau dalil apapun yang membenarkan praktik PETI, lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya,” kata Dedy.
Maslahat dalam pengelolaan PETI lanjutnya, hanya dirasakan oleh segelintir orang tertentu utamanya pemilik modal atau cukong. Sementara dari sisi pemasukan atau peningkatan pendapatan daerah, itu nol besar. Karena pemilik usaha atau pemodal tidak menitip sejumlah dana rehabilitasi dan dana pascatambang ke Pemerintah atau Pemerintah Daerah, melalui Kas Negara atau Kas Daerah.
Bahkan, sudah dapat dipastikan terjadi laju kerusakan hutan dan lahan serta pencemaran yang luar biasa baik itu pencemaran air dan udara di luar ambang batas kewajaran.
“Semua itu bentuk pelanggaran hukum dan itu adalah tindak pidana, baik dari pendekatan sebagaimana yang diatur dalam berbagai Instrumen hukum tentang pengelolaan SDA sektor pertambangan, demikianpula dari pendekatan sebagaiman yang diatur dalam berbagai instrumen hukum tentang lingkungan dan kehutanan,” tegasnya.
Membabat hutan tanpa izin, apalagi di areal yang dilarang oleh UU, merupakan tindak pidana. Demikian juga pencemaran air maupun udara. “Di kawasan-kawasan yang ada PETI, daerah aliran sungainya sudah tidak lagi bisa melaksanakan fungai ekologisnya, karena airnya sudah keruh dan beracun yang disebabkan penggunaan bahan beracun dan berbahaya,” tegasnya. (****/bid/palu ekspres)