OTT KPK

  • Whatsapp
Hengky Widjaya. Foto: Dok

Oleh Henky Widjaja (PhD Antropologi Universitas Leiden)

OTT KPK memiliki dua sisi bagi lembaga anti rasuah ini. Pertama, pelaksanaan OTT menjadi indikator bagi publik untuk mengetahui keaktifan lembaga ini. Kedua, OTT sendiri menjadikan KPK sebagai sasaran empuk kritikan hingga upaya-upaya untuk meminimalkannya.

Bacaan Lainnya

Politisi, seperti Masinton Pasaribu dari PDIP pernah berkata: “Saya berkeyakinan (UU KPK) harus direvisi. Karena saya ingin pemberantasan korupsi lebih maju lagi. Operasi tangkap tangan (OTT), sadap, tuntut. Itu kerja ala sirkus.” Hal itu diucapkan Masinton saat menghadiri diskusi publik “Habis Demo Terbitlah Perppu” pada bulan Oktober 2019.  Menurut Masinton, parameter suksesnya penindakan korupsi itu dilihat dari pencegahan, penindakan, dan pengembalian kerugian negara.

Seperti suara-suara lainnya, Masinton lebih memilih KPK berfokus pada upaya pencegahan daripada OTT. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang arti OTT KPK. Apakah pencegahan akan lebih bermakna daripada OTT atau sebaliknya OTT akan membuat pencegahan lebih bermakna?

Ketika orang ribut menekan KPK untuk mengutamakan peran dalam hal pencegahan korupsi daripada OTT, banyak yang justru tidak memiliki konsep yang jelas soal itu sendiri. Hal yang dipikirkan bahkan bisa melenceng jauh , seolah segala urusan pencegahan korupsi menjadi tanggungjawab KPK dan tidak lagi memperhitungkan rangkaian sistem terbaru yang sudah diterapkan di Indonesia untuk pencegahan korupsi – mulai dari sistem e-procurement, simplifikasi prosedur seperti pelayanan terpadu satu atap, upaya mendorong perekrutan dengan seleksi berbasis ‘fit and proper test’. Intinya segala hal kekinian yang menjadi bagian dari upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik. 

KPK sebagai lembaga anti rasuah memiliki peran terbatas di dalam pengembangan sistem-sistem pencegahan yang saya sebutkan ini dikarenakan oleh batasan-batasan wewenang dan kapasitas KPK sendiri untuk mengintervensi sistem-sistem pencegahan yang ada di tubuh pemerintah. Hal yang dilakukan oleh KPK untuk pencegahan sesuai dengan ranah mandatnya adalah melakukan advokasi pencegahan anti korupsi kepada pemerintah pusat maupun daerah. Sederetan MoU kesepakatan anti korupsi dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah dengan KPK dan tentunya seminar-seminar anti korupsi.

Apakah upaya-upaya tersebut cukup atau bisa menggantikan OTT KPK? Saya pun berharap demikian, tapi hal ideal ini belum akan terjadi di Indonesia. Satu catatan penting dan ironis soal sederetan MoU kesepakatan anti korupsi yang telah dibuat adalah beberapa koruptor yang terjaring OTT justru sebelumnya tampil di media dengan berita penandatangan MoU tersebut ataupun kegiatan-kegiatan anti korupsi yang diselenggarakan KPK. MoU kesepakatan korupsi punya risiko menjadi sebatas gimmick pencitraan, ataupun sekedar menggugurkan kewajiban terkait anti korupsi.

Dalam konteks ini, OTT memiliki peran untuk memastikan ada konsekuensi riil dari komitmen anti korupsi para pejabat dan politisi. Menghindarkan kesan basa-basi dari MoU yang dibuat dengan pihak KPK. Keterbatasan dari OTT sendiri adalah terdapat area besar yang tidak terjangkau oleh OTT KPK, karena OTT lebih merupakan operasi tangkap tangan tindak pidana korupsi untuk kategori gratifikasi. Berbeda dengan pengusutan korupsi yang berbasis hasil audit keuangan yang berada di ranah wewenang inspektorat, BPKP, dan BPK yang umumnya ditangani oleh kepolisian ataupun kejaksaan. Secara anekdot, kenyataan ini mungkin menjadi latar bagi banyak lembaga dan pemerintah yang berani membuat MoU dengan KPK. Mereka paham bahwa kemungkinan kasus korupsi keuangan internal untuk diusut KPK sebenarnya sangat kecil. Tetapi mereka bisa menerima manfaat pencitraan dari memiliki MoU dengan KPK.

Walaupun ramai dikritik, OTT KPK berkontribusi menumbangkan banyak tokoh-tokoh  berlatar partai politik, klan politik hingga tokoh-tokoh lokal yang sebelumnya memiliki reputasi positif. Sebagian besar dari mereka masuk dalam kategori kebal hukum sebelum terjerat OTT. Penangkapan oleh KPK mengakhiri karir jabatan dan politik mereka. Walaupun begitu beberapa tetap bisa muncul di permukaan setelah terjerat OTT. Selain itu, tumbangnya tokoh-tokoh ini tidak serta merta berlanjut dengan munculnya tokoh-tokoh yang lebih baik atau berhentinya kerusakan sistem.

Kenyataan ini menunjukkan seriusnya korupsi yang terjadi di Indonesia. Penjelasan teoritis tentang seriusnya masalah korupsi di Indonesia bisa merujuk teori korupsi berakar rimpang (rhizome state), di mana dijelaskan bahwa keparahan korupsi di Indonesia diakibatkan adanya operator-operator (dianalogikan sebagai akar rimpang) yang sulit tersentuh hukum yang kemudian menjadi pengatur regenerasi korupsi di negara ini. Tidak tersentuhnya operator ini utamanya dikarenakan tidak jalannya konsep negara hukum di Indonesia. Hukum masih ditelikung oleh politik.

Hal tersebut jelas di luar jangkauan KPK dan membuat OTT terbatas berperan seperti tindakan menyiangi rumput tapi tidak bisa membabat hingga ke akar. Tanpa dukungan politik dan keberadaan hukum yang kuat maka akar-akar ini tidak akan pernah terselesaikan.

Partai politik memegang peran sentral di dalam mengentaskan korupsi yang hingga saat ini secara ironis masih merupakan bagian dari ‘pelumas’ mesin partai. Akar rimpang korupsi bernaung di bawah ‘keteduhan’ perlindungan partai-partai politik. Pencegahan korupsi mutlak dimulai dari dalam partai, dan tidak sekedar berharap pada reformasi sistem di birokrasi. Ini karena para kader partailah yang akan memimpin birokrasi melalui proses politik bernama pemilu. Sebagai pemimpin, mereka yang menentukan mutu pencegahan korupsi di birokrasi (*)

Pos terkait