COVID19; Dimanakah Kamu Sekarang..?

  • Whatsapp
Muhd Nur Sangadji. Foto: Dok

By; Nur Sangadji

DI hari terakhir bulan Ramadhan ini, seorang sahabat waktu kuliah dahulu, Amir Syarifuddin yang berdomisili di Parigi Moutong, pesisir teluk Tomini, mengirimkan pertanyaan untuk saya jawab. Isinya begini. Satu hal yang menjadi pertanyaan saya, kata beliau. Apakah kalau di kota Palu ada wabah, di kampung juga ada wabah. Dimana mana ada wabah. Bolehkah menjadi alasan orang bisa pulang kampung? Pertanyaan-pertanyaan ini beliau munculkan sesudah membaca tulisan Bayu Krisnamurthi berjudul “Pulang Kampung Para Salmon”.

Bacaan Lainnya

Saya lantas uraikan pandangan pribadi atas pertanyaan itu. Saya bilang, alasan intinya adalah mobilitas. Bahaya orang bergerak berkait wabah penyakit.

Sudah lama sekali, agama mengkaidahkannya. Bila ada wabah di satu tempat. Mereka yang ada di dalam, jangan pergi. Karena, kita tidak akan bisa lari dari maut. Lantas, yang di luarnya jangan masuk. Karena yang demikian itu adalah tindakan takabur. Menantang bahaya.

Hal ini diterjemahkan ke dalam manajemen kesehatan sebagai penyebaran dan mengantarkan diri. Kalau yang di dalam, pergi. Dia pergi keluar membawa wabah. Mereka yang dari luar masuk, sama dengan menyetor diri. Mendatangi penyakit. Begitulah, bertemu metoda atau kaidah ilmiah dan doktrin transendental religius.


Sejak awal, saat meletus di Wuhan Cina. Bila, kita gunakan manajemen agama, maka, wabah itu harusnya dikurung di wuhan saja. Artinya, orang di Wuhan tidak boleh lari. Dari luar tidak boleh ke Wuhan. Tapi, kita saksikan apa yang terjadi? Semua negara berlomba-lomba memulangkan warganya atas nama peduli dan tanggung jawab. Meskipun diisolasi lebih dahulu, namun wabah itu telah ikut berpindah.

Ini juga sama dengan menyebar spesies invasif (asing) di alam. Flora atau fauna. Kebun, sungai, danau atau laut. Jenis yg bukan asli di habitatnya, dihadirkan. Biasanya, atas nama ekonomi. Akibatnya, spesies endemik terancam punah.


Contoh terakhir ini ditampilkan Untuk dekati analogi pak Bayu Krisnamurthi tentang Salmon. Dan, Salmon ini termasuk jenis ikan mahal di Eropa. Selama hampir 4 tahun tinggal di Montpellier, Nancy, Paris dan Lyon. Saya hampir tidak pernah makan ikan ini. Karena teringat kawan satu angkatan dahulu di Fakultas Ekonomi UNTAD tahun 1982. Namanya Salmon.

Pos terkait