Oleh : Nur Sangadji
muhdrezas@yahoo.com
DI hari kebangkitan tahun 2021 ini, saya teringat sebuah sebuah tulisan. Di tulisan itu ada cerita menarik. Satu waktu, Bung Karno bertanya kepada
Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Tuan Tito, jika Anda meninggal dunia nanti, bagaimana nasib bangsa Anda?” Dengan bangga, Josip berkata, “Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami.”
Setelah menjawab pertanyaan ini, Josip balik bertanya, “Lalu bagaimana dengan negara Anda, Sahabatku?”
Dengan tenang, Bung Karno berkata, “Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan untuk bangsaku. Sebuah ‘Way of life’, yaitu : “Pancasila”, “the five fundamental principles of Indonesia”.
Para ahli sejarah di Yugoslavia berpandangan, Indonesia adalah negara yang paling mungkin pecah dibandingkan Yugoslavia. Alasannya, karena wilayahnya tidak terpisah-pisah dan tidak beretnis sebanyak Indonesia.
Namun faktanya, bangsa Yugoslavia pecah berkeping menjadi negara-negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, dan lain-lain.
Mereka lalu mengubah pandangan. Ternyata, Indonesia kata mereka, lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup yaitu Pancasila yang menyatukan penduduknya yang terdiri atas berbagai suku/golongan dan memeluk berbagai agama dan kepercayaan.
Saya secara individu, juga berpikir bagitu. Bahkan, mengalaminya. Tahun 1996, saya bicara di hadapan mahasiswa international di kota Lyon Prancis. Mereka tergabung dalam asosiasi mahasiswa asing di kota Lyon prancis (les Association des etudiants etranger en France a Lyon).
Waktu saya bicara tentang Indonesia dengan pluralismenya. Ada seorang mahasiswa asal Inggeris berkomentar. Kata beliau, di Eropa ini harusnya negara-negara ini bersatu. Tapi, mereka malah pecah menjadi negara kecil-kecil. Padahal, secara kultural dan geografi sangat dekat. Indonesia adalah negara yg harusnya pecah karena banyaknya perbedaan, tapi malah bersatu.
Kala itu, saya dengan tanggap menjawab, “perceque nous avon Pancasila” (karena kami punya Pancasila). Mirip dengan jawaban Sukarno kepada presiden Tito. Padahal, saya juga belum tahu cerita tersebut. Saya juga bilang, “Nous some deferements, mais unite” (kami berbeda tapi, kami satu). Bhineka tunggal Ika.