**
Satu tahun kemudian, 1997, Indonesia dilanda kerusuhan masal yang memaksa turun Presiden Suharto. Saya sembunyikan kepalaku di bawah bantal sambil mengingat wajah mahasiswa asing di kota Lion kala itu. Saya malu, walau tidak lagi saling menatap.
Ketika artikel ini saya tulis kembali di segmen waktu ini. Tiba tiba Papua bergolak. Beberapa etnis dan atau keyakinan juga pernah dan sering rawan gesekan. Alasan yang sering adalah ketersinggungan. Dan, atau merasa terhina. Terkadang juga oleh hal sepele. Relasi individu anak muda oleh urusan yang sangat pribadi.
Karena itu, tugas serius dan berat yang harus kita emban bersama adalah : 1). Urus sebab musababnya secara objektif dan adil. 2). Upayakan terus menerus, mencabut dari pikiran anak negeri tentang penghinaan manusia atas manusia.
Tidak boleh ada rasa lebih, antara satu etnik atas etnik yang lain. Karena itu adalah nilai universal yang dijunjung secara mondial. Semua manusia harus respek atasnya. Mulailah itu semua dari rumah tangga dan sekolah dasar kita.
Tapi di balik semuanya, saya merenung dalam-dalam. Begitu mudahnya kerusuhan tercipta di tanah kita. Cukup dengan menghina atau mengadu domba suku dan agama. Kita bakal memanen malapetaka perpecahan. Persatuan kita memang masih rapuh. Padahal, kita telah menyatakan bangkit sejak 1908. Sudah 113 Tahun lamanya. ***
(Penulis, pengajar MK Pancasila di Fakultas Pertanian Univ. Tadulako, Ketua FKPT Sulteng).