Oleh Muhd Nur SANGADJI
SETELAH beliau dilantik jadi Gubernur Sulawesi Tengah, baru saya ingat cerita ini. Waktu itu, Kak Cudi (panggilan paling populer untuk Rusdi Mastura) menjabat wali kota Palu. Sebelumnya adalah ketua DPRD Kota Palu. Sebelumnya lagi, adalah ketua Pemuda Pancasila. Jauh kebelakang, adalah mahasiswa Universitas Indonesia. Saat itu, Bung Cudi (panggilan akrab lainnya) adalah pemain bola klub Buana Putera Galatama PSSI.
Satu waktu Profesor Emil Salim datang ke Palu untuk satu acara penting. Beliau adalah ilmuwan dan menteri berkali kali di era Soeharto. Penasehat presiden di era berikut. Dibuatlah satu acara di satu hotel mewah di Palu.
Acara yang menghadirkan Profesor Emil itu adalah gawean Pemerintah Kota Palu yang saat itu wali kotanya adalah Rusdi Mastura. Di ruang lobi, kami bertiga terlibat cerita masa silam. Saya melihat Prof Emil tekun dan sabar mendengar uraian Kak Cudi dan Saya.
Beberapa saat kemudian acara pun dimulai. Tibalah giliran Prof Email memberikan pidato ilmiahnya. Total tentang ekonomi dan lingkungan hidup. Beliau memang pakar ekonomi, sekaligus pakar lingkungan. Indonesia punya dua orang wakil untuk konferensi dunia tentang lingkungan hidup pada tahun 1972. Satunya, Profesor Otto Sumarwoto. Dan satunya lagi, Profesor Emil Salim.
Ceramah Prof Emil sangatlah memukau. Tapi, yang penting untuk tulisan ini adalah pengantar sebelum masuk ke inti pidato. Beliau bilang, sekian lama saya mencari satu mahasiswa yang tiba- tiba menghilang dari kelas. Kawan-kawannya bilang, yang bersangkutan aktif main bola. Setelah itu, kata Prof Emil, saya tidak pernah jumpa lagi dengan mahasiswa pemain bola itu. Puluhan tahun kemudian, saya datang ke Palu. Anak mahasiswa yang hilang itu, kini telah menjadi wali kota Palu. Semua hadirin memberi tepuk tangan meriah sambil menatap Kak Cudi.
Emil Salim melanjutkan pidato pengantarnya. Ada lagi satu mahasiswa asal Palu. Dia bersama temannya menginjak sepatu saya di lift kantor Kementerian Lingkungan Hidup. Anak itu sekarang telah menjadi dosen Universitas Tadulako. Dia ada di tengah- tengah kita. Semua orang lalu nenatap ke arah ku. Prof Emil lantas menunjuk sambil berkata, iyaa, itu Nur Sangadji. Saya sempat kikuk atas situasi tersebut.