Oleh Muhd Nur SANGADJI
HARI– hari ini, ada dua perhatian besar dunia sedang tertuju. Covid- 19 yang tak kunjung berkesudahan. Dan, piala Eropa yang sebentar lagi menuju puncak. Di sebelahnya ada Copa Amerika. Tapi, sepertinya kalah populer. Seandainya saya punya otoritas, akan saya larang iven besar ini dibuat bersamaan.
Sepak bola dan covid, ternyata saling mempengaruhi. Meskipun bukan jaminan mutlak, sebagai olahraga, sepakbola bisa menambah kebugaran. Tentu, menaikkan imun. Faktanya, ada satu dua pemain yang tervonis positif sehingga tidak diizinkan merumput.
***
Di babak menuju puncak ini, publik menyaksikan bergugurannya tim favoritnya masing- masing. Di antaranya, yang berjubel para bintang sepak bola berkelas mondial. Orang juga dikagetkan dengan menangnya tim tak diunggulkan.
Dalam sepakbola, itu semua adalah hal yang biasa. Pameo yang sudah sangat kuno, masih dipercaya hingga kini. Sederhana sekali. Hanya tiga kata. “Bola itu bundar”.
Bola itu bundar, menggambarkan ketidakpastian (uncertainty), unik (unique), kompleks (complexity) dan terkadang konflik (conflic). Dia juga sekaligus memadukan beberapa hal dalam posisi tarik ulur. Antara, upaya (force), keberuntungan (lucky) dan takdir (destiny). Orang lalu melakoni ikhtiar. Karena itu, ada pelatih dan ada latihan serta strategi. Hasil akhir adalah konfergensi dari keseluruhannya.
***
Kolega di fakultas ku membuat khusus groups WA Euro 2021. Group yang sangat menghibur antarpendukung tim berlaga. Masing- masing membala dengan segenap jiwa raga. Pokoknya seru. Bagus juga untuk merawat kestabilan imun menghadapi Covid-19.
Saya, karena pernah hidup hampir empat tahun di Perancis. Maka, secara psikologis mendukung tim berjuluk “Les Blues”. Blue atau biru ini, diambil dari penggalan warna bendera mereka. Kalau kita, sering menyebut, “merah putih” sebagai identitas heroiknya Indonesia. Mereka menyebutnya, “Blue, Blanc, Rouge” (Biru, putih merah).
Andaikan saya tidak pernah tinggal di dua kota Perancis (Montpellier dan Lyon), saya adalah pendukung Belanda sejak 1978. Kala itu, Tim Orange berhadapan dengan Argentina. Meskipun hanya menonton di TV hitam putih. Dan, meskipun yang unggul adalah Argentina. Kesan permainan Belanda itu terawat apik di memori ku. Bahkan, hingga ke generasi Ruud Gullit dan Van Basten. Sebagai pemain bola, saya sering dijuluki Van Basten oleh kolega Persidokar (persatuan sepakbola dosen karyawan) Faperta Untad. Tentu saja, saya tidak menolak, he he.
***
Namun, yang menjadi sedikit soal adalah gagalnya kedua tim favorit itu. “Orange and les Blues”. Peristiwa yang membuat mereka tersingkir punya cerita sendiri sendiri. Seperti berjuang meloloskan diri dari lubang jarum. Dan, akhirnya tidak lolos.
Ada, karib yang bertanya. Mengapa bisa Perancis yang juara dunia dan sangat diunggulkan, malahan kalah. Saya tidak punya jawaban analitik. Tapi, saya punya cerita pembanding.
Tahun 1998, menjelang perhelatan piala dunia di Perancis. Kesebelasan Les Blues berbenah. Setahun sebelumnya, 1997, saya masih di sana. Menyaksikan, bagaimana pelatih mengelola tim tangguh. Tapi, dengan cara menyingkirkan pemain bintang. Unik, untuk tidak disebut aneh.
***
Kala itu, Emie Jaque sebagai pelatih Perancis memutuskan, tidak merekrut dua pemain bintang. Erick Cantona dan David Ginola. Publik Perancis beraksi marah. Bahkan, saya menyaksikan satu orang nenek di kota Manchester, marah karena Erick tidak direkrut. Dia bilang begini dalam wawancara televisi. “It is really sad, some one that we respect in our country, in his own country is rejected”. Kala itu, Erick Cantona merumput di Manchester United.
Emie Jaque bilang saya pelatih. Tidak ada intervensi, termasuk dari pemerintah sekalipun. Muncullah wajah wajah baru yang relatif merata dari gawang hingga penyerang. Saya masih hafal beberapa. Dari belakang, Fabien Barthez, Lilian Thuram, Marchel Desailly, Didier Deschamps, Youri Djorkaeff dan Zinedine Zidane.
Mereka lalu, menjadi bintang baru. Menguburkan nama besar Erick Cantona dan David Ginola. Tapi, mereka relatif muncul bersamaan. Tidak ada ketergantungan pada bintang utama . Hasilnya, Perancis keluar sebagai juara dunia.
Bahwa kini, di tingkat Eropa saja mereka gugur. Boleh jadi, strategi Emie Jaque ini terlupakan. Mungkin personifikasi Erick dan Ginola berpindah ke Mbappe, Karim Benzema dan atau Pogba. Walahua’lam. Menjadi pelajaran tentang pentingnya figur dan bintang. Namun, kita tidak boleh menggantung pada figur semata. Ini soal strategi. Akan tetapi, di atas semuanya. Pameo kuno itu akan tetap abadi. “Bola itu Bundar”. Entahlah. ***