COVID-19 yang Saya Alami

  • Whatsapp
Muhd Nur sangadji
Dr. Ir. Nur Sangadji DEA. Foto: Dok

Ini sikap yang sangat individual. Akan tetapi tujuannya ingin menjaga keseimbangan psikologi dan kondisi tubuh (somatik). Kesehatan itu kata ahli, adalah konfergensi keduanya (psicosomatik). Sekitar hari ke empat, saya kehilangan penciuman. Makin yakinlah bahwa Covid- 19 telah merasuk. Gerakan perlawanan mulai dibangun. Obat, vitamin, makan, terapi dan doa digandakan. Segala saran alternatif dijalankan.

Kalau diingat lagi. Terasa gabungan pelajaran antara ketakutan dan lucu. Uap panas minyak kayu putih dihirup. Langsung dari teko. Juga, tisu yang dibasahi minyak kayu putih, ditusuk di ke dua lubang hidung. Pernah juga, hirup air panas yang ditetesi deterjen. Pokoknya, yang masuk akal hingga yang setengah logik. Semuanya dipraktekkan. Saya berkelakar ke isteri. Lama-lama, tubuh ku ini berubah jadi pakaian “Laundry”.

Bacaan Lainnya


Dari waktu ke waktu, saya terus menghitung hari. Ini berkaitan masa inkubasi virus. Menunggu hari ke- 14 itu, terasa lama sekali. Lama, karena perasaan sakit ini sangat berbeda. Sebelum ini, saya bermasalah batu ginjal. Kalau sakit batu ginjal. Saya merasa hanya berjuang keras melawan sakit (somatik). Covid-19 ini, selain sakit, saya merasa dominan berjuang keras melawan ketakutan (psico). Betullah Ibnu Sina, dokter modern pertama dunia yang berkata. Sembuh itu adalah gabungan dari upaya menjaga tubuh dan jiwa.

Alhamdulillah, di hari ke- 6 atau ke-7 keadaan agak membaik. Virusnya mungkin kian berkurang dan melemah. Saya lawan dengan semua ikhtiar. Salah satunya adalah menunggu matahari. Celakanya sepanjang minggu itu, lebih banyak mendungnya. Saya baru sadar mengapa orang asing selalu memburu matahari.

Baru terasa, makhluk Tuhan bernama matahari yang selama ini Kita anggap biasa saja ini. Kehadirannya sangat dirindukan, sekaligus butuhkan. Di sini produksi vitamin D berlimpah. Kita malah menghindarinya karena takut hitam.


Lapar, tapi tidak ada nafsu makan. Saya paksakan mencoba semua makanan. Saat nasi tak berselera. Sagu dari ubi kayu menjadi alternatif. Dicelupkan ke dalam teh manis. Lahap bersama Ikan bakar dan dabu-dabu (sambal) mentah. Bawang merah putih segar ikut serta. Saya petik lombok, parea, daun kelor dan ujung daun pepaya muda segar. Semuanya ada di halaman rumah. Sesekali menunya, popeda alias kapurung. Intinya, cari jalan untuk tetap makan.

Pos terkait