PALUEKSPRES, PARIMO – Yayasan Cappa Keadilan Ekologi yang berpusat di Kota Jambi melakukan audiensi ke Bupati Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, H Samsurizal Tombolotutu bertempat di Lolaro Tinombo, Rabu (22/9/2021).
Audiensi dihadiri Pemerintah Kecamatan Sidoan dan Pemerintah Kecamatan Tinombo. Pemerintah desa dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).
Adapun kepala desa yang hadir adalah kepala Desa Sipayo, Kepala Desa Bondoyong, kepala Desa Sidoan, Kepala Desa Sidoan Selatan, Kepala Desa Sidoan Barat, Kepala Desa Baina’a Barat, Kepala Desa Dongkas dan Kepala Desa Ogoalas.
Bupati Parigi Moutong H Samsurizal Tombolotutu saat menerima pengurus Yayasan Cappa mengatakan, organisasi atau lembaga apapun yang masuk ke Parigi Moutong semuanya diterima, dengan ketentuan harus melapor atau terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa (Kesbangpol) Parigi Moutong. Hal itu menurutnya, bertujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Organisasi apa saja masuk ke Parigi Moutong kami terima, dengan ketentuan harus melapor atau terdaftar di Kesbangpol Parigi Moutong,” tegasnya.
Karena saat ini, kata dia, banyak organisasi atau lembaga yang tidak mempunyai badan hukum. Sehingga, ketika melakukan suatu kegiatan awalnya berjalan baik, tetapi pada akhirnya hanya merugikan masyarakat desa itu sendiri.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Parigi Moutong, Irfan Maraila menyambut baik kehadiran personel Yayasan Cappa karena merupakan lembaga yang bergerak membantu masyarakat desa dalam pengelolaan kawasan hutan bahkan pertambagan.
“Kami sambut baik atas hadirnya Cappa, tetapi tolong tetap melapor ke Kesbangpol. Perlu juga saya imbau kepada para Kades untuk tidak membuka akses pertambagan emas dengan menggunakan alat berat, yang disebut pertambangan rakyat yaitu mendulang, bukan menggunakan alat berat. Karena itu dapat merugikan masyarakat,” ujarnya.
Koordinator Yayasan Cappa Keadilan Ekologi untuk Parigi Moutong Onna Samada mengatakan, peran dan akses masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) merupakan suatu hal yang pokok untuk dilakukan. Karena masyarakat masih menghadapi kendala untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Kata Onna Samada, masyarakat sering kali dipinggirkan dari hak-hak yang seharusnya mereka terima serta keterbatasan dalam mengakses keadilan. Sehingga, dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam kemiskinan.
“Problem akses hukum dan keadilan bagi kelompok masyarakat miskin bersifat sosial politis, yakni mencakup dua hal yaitu faktor kebijakan dan ketimpangan serta lemahnya pengetahuan dan keseimbangan posisi tawar kelompok miskin ketika berhadapan dengan investasi dan kekuasaan di tingkat local,” kata Onna usai audiensi.
Menurutnya, di Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan seluas 3.934.568 hektare (SK Menhut Nomor 869 Tahun 2014). Dari luasan tersebut, sebagian besar telah dikuasai oleh industri ekstraktif melalui berbagai izin industri. Saat ini terdapat kurang lebih 412 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 3 unit kontrak.
Kata dia, Kontrak Karya (KK) pertambangan yang menguasai total lahan lebih dari 2 juta hektare. Sementara, perkebunan sawit menguasai lahan seluas 693.699,60 hektare, dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) menguasai lahan seluas 610.125 hektare.
Sehingga, jika diakumulasi secara keseluruhan kata dia, lahan yang telah dibebani perizinan itu melebihi 3 juta hektare, atau separuh dari luas daratan Sulawesi Tengah sudah dibebani izin pengelolaan di sektor tambang, perkebunan dan kehutanan. Akumulasi penguasaan lahan tersebut, secara legal formal mendapat pengakuan dari pemerintah.
(***/asw/palu ekspres)