Oleh, Muhd Nur SANGADJI
Penyair berkelas dunia, Khalil Hibran pernah menoreh sajak tentang negeri yang bergantung. Beliau mengurai kalimat yang sangat menyentuh relung orang yang masih punya mertabat. Saya ambil penggalan yang relevan dengan topik tulisan ini. “Ibalah hati melihat negeri yang sarat kepercayaan, namun sepi agama. Memakai sandang, namun bukan hasil tenunannya. Menyantap pangan, namun bukan hasil ladangnya. Meminum anggur, namun bukan hasil perasannya.
Syair ini dijawab oleh pandemi Covid- 19 memberikan pelajaran tentang pentingnya memproduksi sendiri kebutuhan dasar manusia. Pangan. Cukup lama kita mengandalkan istilah ketahanan pangan. Padahal, ini bermakna ketersediaan yang bersumber dari mana saja. Produksi sendiri maupun impor.
Covid- 19 pula yang memaksa kita untuk memindahkan diksi dari ketahanan menjadi kedaulatan. Makna dari yang terakhir ini adalah ketersediaan pangan yang berasal dari kebun sendiri. Kiranya, relevan dengan syairnya Khalil Gibran. Dan, cocok dengan judul tulisan ini.
Sekitar tahun 1996 akhir, saya memberikan argumentasi tentang swasembada pangan. Kala itu, kami yang berhimpun dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia se Eropa sedang berkumpul di Paris. Dalam waktu bersamaan, di sebelahnya, di kota Roma. Presiden Soeharto sedang berpidato dalam forum PBB – FAO (food Agriculture Organisation).
Pak Harto diundang beri pidato lantaran Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan, khusnya beras. Pencapaian yang luar biasa. Tapi, nasib petani produsen kurang mendapat porsi apresiasi. Banyak dari mereka yang hidupnya melarat. Saya bilang waktu itu, untuk apa berswasembada kalau petaninya susah. Saya menulis satu artikel terkait. “Swasembada, untung buat siapa ?”
Saya menulis di artikel itu. Dari pada menggenjot petani menjadi mesin produksi untuk pencitraan swasembada. Lebih baik berdayakan mereka agar mereka mempu membeli beras impor. Sekarang, baru saya sadar, bahwa pernyataan tersebut, tidak sepenuhnya benar. Sebab, meskipun kita punya pendapatan tinggi. Bila bahan komoditasnya tidak tersedia, tidaklah berarti apa apa. Covid- 19 mengkongkritkannya. Banyak Negara exportir menghentikan exportnya untuk menjaga stok pangan dalam negerinya.